NASEHAT AL QURAN BAGI MEREKA
YANG TELAH
BERUSIA LANJUT
68. Dan
barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada
kejadian(nya) . Maka apakah mereka tidak memikirkan? (Yasin 68)
Allah telah menjelaskan dalam surat
Yasin ayat 68 bahwa siapa yang dipanjangkan umurnya sampai usia
lanjut akan dikembalikan menjadi lemah seperti keadaan
semula. Keadaan itu ditandai dengan rambut yang mulai memutih,
penglihatan mulai kabur, pendengaran sayu sayup sampai, gigi mulai berguguran,
kulit mulai keriput, langkahpun telah gontai. Ini adalah sunnatullah yang tidak
bisa ditolak oleh siapapun. Siapa yang disampaikan oleh Allah pada usia lanjut
bersiaplah untuk mengalami keadaaan seperti itu.
Keadaan ketika badan mulai menjadi
lemah pada usia lanjut merupakan peringatan atau lampu kuning dari Allah bahwa
kehidupan dunia ini akan segera berakhir, siapa yang mau hendaklah
mempersiapkan diri untuk menghadapi datangnya saat perpisahaan dengan kehidupan
dunia. Sayang banyak orang yang tidak menyadari peringatan ini, mereka masih
asik mengejar kekayaan dan berbagai kesenangan hidup dunia walaupun
tubuh mereka tidak lagi mampu menikmati semua itu seperti ketika masih muda
dahulu.
Bagi kebanyakan orang Indonesia masa
masa lemah itu biasanyanya mulai muncul ketika usia sudah mencapai 60 tahun.
Ketika memasuki usia seperti itu banyak orang yang masih energik sibuk dengan
urusan dunianya, ada juga yang mulai menepi memikirkan perbekalan untuk
kehidupan akhiratnya.
Mereka yang masih sibuk dengan
urusan dunianya termasuk kelompok orang yang lalai. Mereka sibuk mengumpulkan
sesuatu yang akan mereka tinggalkan dan lupa menyiapkan perbekalan untuk
kehidupan abadi dikampung akhirat. Pada kenyataannya kelak semua harta benda
seperti rumah, mobil, usaha bisnis, kebun, karib kerabat, sanak famili terpaksa
mereka tinggalkan , ketika malaikat maut datang menjemput mereka. Mereka
berangkat meninggalkan kehidupan dunia memasuki alam barzakh tanpa membawa
perbekalan apapun. Ketika itu mereka baru menyadari kekeliruan mereka.
Namun nasi sudah jadi bubur mereka tidak bisa berbuat apa apa selain
dari menyesali nasibnya.
Orang yang arif dan bijaksana dihari
itu mulai mengurangi aktifitas dunianya. Mereka mulai menyibukan diri
meningkatkan ibadahnya pada Allah. Hari hari mereka banyak
dihabiskan dengan kegiatan ibadah dzikir, tasbih , shalat
sunah, dhuha dan tahajud serta membaca Qur’an. Dimasa muda dahulu mungkin kegiatan
itu jarang mereka lakukan, mereka terlalu sibuk dengan urusan dunianya.
Sekarang dihari tua ketika anak anak mereka semua sudah mandiri, ekonomi juga
sudah mapan cukup arif jika mereka mulai memikirkan bekal yang akan mereka bawa
pada kehidupan akhirat kelak.
Tidak dipungkiri ada juga mereka
yang kurang beruntung dihari tuanya.Disaat badan sudah renta mereka masih harus
bekerja keras memenuhi kebutuhan hidupnya untuk mencari sesuap nasi. Mereka
tidak punya cukup waktu untuk melakukan ibadah , berdzikir, bartasbih, membaca
Quran dan mengerjakan shalat sunah lainnya. Hari hari mereka habis hanya untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari hari setelah letih bekerja
merekapun tertidur. Ada pula yang hari harinya dihabiskan hanya
ditempat tidur karena menderita sakit menahun yang tak kunjung sembuh.
Berikut kami sampaikan beberapa ayat
Qur’an sebagai nasehat bagi mereka yang sudah memasuki usia lanjut,
hingga bisa melalui hari tua serta saat sakratul mautnya dengan baik
dan ditempatkan pada tempat terhormat di alam barzakh kelak.
1. YASIN AYAT 68
68. Dan
barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada
kejadian(nya) . Maka apakah mereka tidak memikirkan? (Yasin 68)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan
bahwa siapa yang dipanjangkan usianya akan dikembalikan menjadi lemah seperti
keadaan semula. Bahkan ada yang dikembalikan seperti keadaan masih bayi, lemah
tidak berdaya dan tidak mengetahui apa apa yang pernah diketahuinya. Semua ilmu
yang dimiliki telah lenyap. Daya ingatnya amat terbatas ia tidak ingat dan
tidak tahu apa yang baru saja diucapkannya. Ini adalah sunatullah yang pasti
terjadi pada siapa saja. Sudahkan kita siapa menghadapi masa seperti itu ?
Dihari tua ketika badan sudah lemah
dan tidak berdaya ada orang yang dijadikan Allah dalam naungan kasih
sayangnya. Ia berada dalam lindungan orang orang yang menyayangi dan
mencintainya. Semua fasilitas dan kebutuhannya dihari itu dicukupkan oleh orang
yang menyayangi mereka. Namun ada juga orang yang berada dalam keadaan terlunta
lunta, berada ditengah orang yang membenci nya. Ia menghadapi semua keadaan itu
seorang diri, tidak ada yang menyayangi atau menyantuninya.
Dengarkan ayat diatas berulang
ulang, resapi dan hayati maknanya. Kemudian tadabburi ayat tersebut dengan
penuh penghayatan:
“ Ya Allah
telah kau ingatkan pada kami dalam Qur’anMu yang Agung, bahwa barang siapa yang
Kau panjangkan usianya akan Kau jadikan menjadi lemah seperti keadaan semula,
agar kami memikirkannya.
Ya Allah jika
datang saat yang Kau janjikan itu, ketika rambut kami telah memutih,
penglihatan kami telah kabur, pendengaran kami sayup sayup sampai, gigi kami
telah berguguran, kulit kami telah keriput, dan langkah kami telah gontai
jadikan kami dihari itu dalam naungan kasih sayangMu. Jangan Kau hinakan kami
dihari itu, jangan Kau jadikan kami dalam keadaan terlunta lunta dan tersia
sia.
Kelilingi kami
dengan orang orang yang menyayangi dan megasihi kami, cukupkan semua hajat
dan kebutuhan kami dihari itu . Jadikan kami dalam naungan kasih
sayangMu, jadikan kami berada pada tempat yang aman nyaman dan tentram dalam
lindunganMu. Beri kami kekuatan untuk beribadah dan selalu ingat padaMu
dimanapun kami berada. Ampuni dan hapuskan semua dosa dan kesalahan kami dihari
itu.
Jangan Kau
jadikan kami dalam keadaan tersia sia dan dikelilingi oleh orang orang yang
benci dan tidak peduli dengan kami.Jangan Kau jadikan kami termasuk orang yang
lalai dan berpaling dari mengingatiMu. Perkenankanlah permohonan
kami ini ya Allah. “
Dengan mentadabburi ayat
tersebut diatas diharapkan kelak jika datang usia lanjut ketika badan sudah
lemah tidak berdaya, kita selalu berada dalam naungan kasih sayang Allah.
Terpelihara dari keadaan terlunta lunta atau tersia sia. Kita selalu
dikelilingi oleh orang yang sayang dan mengasihi kita, yang selalu siap
memenuhi apa yang kita butuhkan.
Insya Allah dengan mentadabburi ayat
ini dijauhkan dari penderitaan dan berbagai kesulitan dihari tua.
2.
AL JUMU’AH 8
8. Katakanlah:
“Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian
itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang
mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan.” (Al Jumu’ah 8 )
Dalam ayat ini Allah mengingatkan bahwa
kematian yang kita lari daripadanya pasti akan menemui kita dimanapun kita
berada. Kemudian kita akan dikembalikan pada Allah yang mengetahui hal yang
ghaib dan nyata., dan Allah akan mengabarkan pada kita apa saja yang sudah kita
kerjakan selama hidup didunia ini
Jika datang saat ajal yang sudah ditetapkan
tidak seorangpun dapat menghindar dari kematian itu, dia dapat menyergap kita
dimanapun kita berada. Tidak ada satu kekuatanpun yang bisa menghalangi
keadatangannya. Kematian itu bisa datang secara tiba tiba tanpa bisa kita duga
sebelumnya, seperti yang dialami oleh penumpang pesawat Sukhoi yang mengalami
kecelakaan digunung salak, korban bom Bali,Mariot dan lain
sebagainya. Beberapa saat sebelum terjadi kecelakaan mereka tidak pernah punya
firasat sedikitpun bahwa beberapa saat lagi kematian akan datang menyergap
mereka.
Ada orang yang menemui ajalnya setelah
sakit berbulan bulan, ada yang mengalami koma dahulu, ada yang mengalami
sakrataul mau dengan penuh kesakitan dan amat menderita, ada pula yang
meninggal ketika sedang shalat, sedang tidur, atau ketika sedang berkumpul
ditengah keluarga. Ada yang meninggalkan dunia ini dengan tersenyum penuh
kebahagiaan ada pula yang melepaskan nyawanya menjerit histeris menahan sakit
yang amat sangat.
Kematian bukanlah akhir segala galanya ,
justru kematian itu adalah awal perjalanan panjang yang tiada akhir, sudahkah
anda siap untuk memulai perjalanan itu ? Sudahkah anda mempersiapkan perbekalan
untuk menempuh perjalanan panjang sesudah kematian? . Banyak orang yang tidak
siap menghadapi datangnya kematian. Mereka terlalu asik dengan berbagai
kesibukan dunia, sehingga lupa mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan
akhirat yang kekal dan abadi.
Untuk mempersiapkan diri menghadapi
datangnya saat kematian itu, dengarkan ayat diatas dengan baik , hayati dan
pahami maknanya. Kemudian tadabburi ayat tersebut sebagai berikut:
“ Ya Allah
telah Kau ingatkan pada kami dalam Qur’anMu yang Agung bahwa kematian yang kami
lari daripadanya pasti akan menemui kami dimanapun kami berada, kemudian kami
akan dikembalikan kepadaMu yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Dan Engkau
akan mengabarkan kepada kami apa saja yang sudah kami lakukan selama ini.
Ya Allah jika
datang saat yang Kau janjikan itu, kami mohon padaMu , wafatkan kami dalam
khusnul khotimah , mudahkan kami menempuh sakratul maut, jadikan kami ikhlas
dan ridho menhinggalkan kehidupan dunia ini, sambut kami dengan sambutan
penghormatan dariMu dan para MalaikatMu, tempatkan kami pada tempat terhormat
disisiMu dialam barzakh. Perkenankanlah permohonan kami ini ya Allah, Engkaulah
sebaik baik yang memperkenankan doa.
Dengan membaca doa tabdabbur ini
diharapkan kita akan mendapatkan 5 hal utama yaitu
§ Diwafatkan dalam khusnul khotimah
§ Dimudahkan ketika melalui saat skaratul
maut, terhindar dari penderitaan dan sakit yang amat sangat
ketika saat sakratul maut.
§ Dijadikan ikhlas dan ridho meninggalkan
kehidupan dunia, sehingga bisa meninggalkan dunia ini dengan tersenyum dan
tanpa beban apapun.
§ Mendapat sambutan penghormatan dari Allah
dan para Malaikat yang datang dari segala penjuru bumi disaat meningalkan jasad
memasuki alam barzakh.
§ Ditempatkan pada tempat yang mulia dialam
barzakh kelak selama menanti datangnya saat hari kebangkitan dihari kiamat dan
dilindungi dari azab dan siksa dialam kubur.
Bagi mereka yang sudah berusia lanjut ada
baiknya mentadabburi kedua ayat diatas sebagai persiapan menghadapi hari tua
dan saat datangnya sakratul maut. Usahakan bisa menghafal ayat tersebut
kemudian bacalah dan tadabburi setiap selesai shalat subuh. Mudah mudahan Allah
memperkenankan doa yang dipanjatkan pada bacaan tadabbur itu.
BERAPA UMURMU? – SUDAH 50
TAHUN?
“Allah tidak lagi memberi
alasan bagi siapa yang telah dipanjangkan umurnya hingga 50 tahun”
(Hadith Riwayat Bukhari)
(Hadith Riwayat Bukhari)
Al-Khattabi berkata :
“Maknanya, orang yang Allah panjangkan umurnya hingga 50 tahun, tidak diterima
lagi keuzuran/alasan. kerana usia 50 tahun merupakan usia yang dekat dengan
kematian…
Maka inilah kesempatan
untuk memperbanyak taubat, beribadah dengan khusyuk, dan bersiap2 bertemu
Allah.”
(Tafsir al-Qurthubi)
(Tafsir al-Qurthubi)
Fudhail bin Iyadh berkata
kepada seseorang yang telah mencapai umur 50 tahun,
*Nasihat Fudhail
kepadanya : *”Bererti sudah 50 tahun kamu berjalan menuju Tuhanmu, sekarang
hampir sampai… Lakukan yang terbaik pada sisa usia senja-mu, lalu akan diampuni
dosa2mu yang lalu. Tapi jika engkau masih berbuat dosa di usia senjamu, kamu
pasti dihukum akibat dosa masa lalu dan masa kini sekaligus..!”
Maka para alim ulama
memberi nasihat cara menjalani umur yang sudah mencapai 50 tahun :
1. Jangan berlebihan
berhias, bersolek, dan berpakaian.
2. Jangan berlebihan
makan, minum, dan berbelanja barang yang kurang diperlukan untuk mendukung amal
salih.
3. Jangan berkawan dengan
orang yang tidak menambah iman, ilmu, dan amal.
4. Jangan gelisah,
berkeluh kesah dan kesal dengan kehidupan sehari-hari. Selalu penuhi diri
dengan rasa sabar dan bersyukur.
5. Perbanyak doa
mengharap keredha-an Allah agar Husnul Khatimah dan dijauhkan dari Su’ul
Khatimah.
6. Tambahkan ilmu agama,
perbanyak mengingat kematian, dan bersiap menghadapinya.
7. Siapkan wasiat dan
lakukan pembahagian harta.
8. Kerapkan menjalin
silaturrahim dan merapatkan hubungan yang renggang sebelumnya.
9. Minta maaf dan berbuat
baik terhadap pihak yang pernah dizalimi.
10. Tingkatkan amal soleh
terutama amal jariah yang dapat terus memberi pahala dan syafa’at setelah kita
mati.
11. Maafkan kesalahan
orang kepada kita walau seberat apapun kesalahan itu.
12. Bereskan segala
hutang yang ada dan jangan buat hutang baru walaupun untuk menolong orang lain.
13. Berhentilah dari semua
maksiat !
*mata, berhentilah
memandang yang tidak halal bagimu*
*tangan, berhentilah dari
meraih yang bukan hak mu*
*mulut, berhentilah makan
yang tidak baik dan yang tidak halal bagimu, berhentilah dari ghibah, fitnah,
dan berhentilah menyakiti hati orang lain*
*telinga, berhentilah
mendengar hal2 haram dan tak bermanfaat*
14. Berbaik sangka lah
kepada Allah atas segala sesuatu yang terjadi dan menimpa
15. Penuhi terus hati dan
lisan kita dengan istighfar & taubat untuk diri sendiri, orang tua, dan semua
orang beriman, di setiap saat, waktu dan keadaan
Semoga bermanfaat bagi
kita semua, walaupun Anda belum 50 tahun, kerana…
*KEMATIAN TIDAK MENGENAL
UMUR.*
Ada
sebagian kaum muslimin yang masih berprinsip, baru akan memperbanyak ibadah
atau mendekatkan diri kepada Allah l setelah senja, setelah pensiun atau purna
tugas. Padahal pada usia berapa kita mati, kita tak pernah mengetahuinya.
Orang
yang akan melakukan perjalanan jauh pasti akan menyiapkan perbekalan yang
cukup. Lihatlah misalnya orang yang hendak menunaikan ibadah haji. Terkadang ia
mengumpulkan harta dan perbekalan sekian tahun lamanya, padahal itu berlangsung
sebentar, hanya beberapa hari saja. Maka mengapa untuk suatu perjalanan yang
tidak pernah ada akhirnya –yakni perjalanan akhirat– kita tidak berbekal diri
dengan ketaatan?! Padahal kita yakin bahwa kehidupan dunia hanyalah bagaikan
tempat penyeberangan untuk sampai kepada kehidupan yang kekal nan abadi yaitu
kehidupan akhirat, di mana manusia terbagi menjadi: ashhabul jannah (penghuni
surga) dan ashhabul jahim (penghuni neraka). Itulah hakikat perjalanan manusia
di dunia ini. Maka sudah semestinya kita mengisi waktu dan sisa umur yang ada
dengan berbekal amal kebaikan untuk menghadapi kehidupan yang panjang.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا
اللهَ وَلْتَنْظُرْ
نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ
لِغَدٍ وَاتَّقُوا
اللهَ إِنَّ
اللهَ خَبِيرٌ
بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya
untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Hasyr: 18)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Hisablah diri kalian sebelum dihisab, perhatikanlah apa yang sudah kalian
simpan dari amal shalih untuk hari kebangkitan serta (yang akan) dipaparkan
kepada Rabb kalian.” (Taisir Al-‘Aliyil Qadir, 4/339)
Umur Bukan Pemberian Cuma-Cuma
Waktu adalah sesuatu yang terpenting untuk
diperhatikan. Jika ia berlalu tak akan mungkin kembali. Setiap hari dari waktu
kita berlalu, berarti ajal semakin dekat. Umur merupakan nikmat yang seseorang
akan ditanya tentangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ
تَزُولُ قَدَمُ
ابْنِ آدَمَ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ
مِنْ عِنْدِ
رَبِّهِ حَتَّى
يُسْأَلَ عَنْ
خَمْسٍ: عَنْ
عُمُرِهِ فِيْمَا
أَفْنَاهُ، وَعَنْ
شَبَابِهِ فِيْمَا
أَبْلَاهُ، وَمَالِهِ
مِنْ أَيْنَ
اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا
أَنْفَقَهُ، وَمَاذَا
عَمِلَ فِيْمَا
عَلِمَ
“Tidak akan bergeser kaki manusia di hari
kiamat dari sisi Rabbnya sehingga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya
dalam apa ia gunakan, tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan, tentang
hartanya darimana ia peroleh dan dalam apa ia belanjakan, dan tentang apa yang
ia amalkan dari yang ia ketahui (ilmu).” (HR. At-Tirmidzi dari jalan Ibnu
Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Lihat
Ash-Shahihah, no. 946)
Jangan Menunda-nunda Beramal
Mungkin kita sering mendengar orang mengatakan:
“Mumpung masih muda kita puas-puaskan berbuat maksiat, gampang kalau sudah tua
kita sadar.” Sungguh betapa kejinya ucapan ini. Apakah dia tahu kalau umurnya
akan panjang? Kalau seandainya dia ditakdirkan panjang, apa ada jaminan dia
akan sadar? Atau justru akan bertambah kesesatannya?! Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui
(dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang
dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Sesung-guhnya angan-angan adalah modal utama orang-orang yang bangkrut.”
(Ma’alim Fi Thariqi Thalabil ‘Ilmi hal. 32)
Abdullah bin Umar radhiallahu
‘anhuma berkata:
إِذَا
أَمْسَيْتَ فَلَا
تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ
وَإِذَا أَصْبَحْتَ
فَلاَ تَنْتَظِرِ
الْـمَسَاءَ، وَخُذْ
مِنْ صِحَّتِكَ
لـِمَرَضِكَ وَمِنْ
حَيَاتِكَ لـِمَوْتِكَ
“Apabila engkau berada di waktu sore janganlah
menunggu (menunda beramal) di waktu pagi. Dan jika berada di waktu pagi,
janganlah menunda (beramal) di waktu sore. Gunakanlah masa sehatmu untuk masa
sakitmu dan kesempatan hidupmu untuk saat kematianmu.” (HR.
Al-Bukhari no. 6416)
Selagi kesempatan masih diberikan, jangan
menunda-nunda lagi. Akankah seseorang menunda hingga apabila ajal menjemput,
betis bertaut dengan betis, sementara lisanpun telah kaku dan tubuh tidak bisa
lagi digerakkan? Dan ia pun menyesali umur yang telah dilalui tanpa bekal untuk
suatu kehidupan yang panjang?! Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
menjelaskan penyesalan orang-orang kafir ketika datang kematian:
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga
apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Rabbku,
kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap apa
yang telah aku tinggalkan. ’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah
perkataan yang diucapkannya saja.” (al-Mu`minun: 99-100)
Menyia-nyiakan Kesempatan
Banyak
orang yang melewati hari-harinya dengan hura-hura, berfoya-foya, dan perbuatan
sia-sia. Bahkan tidak jarang dari mereka yang tenggelam dalam dosa. Tidaklah
mereka melakukan ketaatan sebagai bekal di hari kemudian dan tidak pula mengisi
dengan kegiatan positif yang bermanfaat bagi kehidupannya di dunia. Seolah
keadaannya mengatakan bahwa hidup hanyalah di dunia ini saja. Tiada yang
terbayang di benaknya kecuali terpenuhi syahwat dan nafsunya. Orang yang
seperti ini tidak jauh dari binatang bahkan lebih jelek keadaannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نِعْمَتَانِ
مَغْبُونٌ فِيْهِمَا
كَثِيْرٌ مِنَ
النَّاسِ، الصِّحَّةُ
وَالْفَرَاغُ
“(Ada)
dua nikmat yang kebanyakan orang tertipu padanya, (yaitu nikmat) sehat dan
senggang.” (HR. Al-Bukhari dan At-Tirmidzi, lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi no.
2304)
Sesungguhnya Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengajarkan untuk serius dalam
memanfaatkan kesempatan sebelum datangnya penghalang. Diriwayatkan dari Ibnu
‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan
kepada seseorang dengan menasihatinya:
اغْتَنِمْ
خَمْسًا قَبْلَ
خَمْسٍ: حَيَاتَكَ
قَبْلَ مَوْتِكَ،
وَصِحَّتَكَ قَبْلَ
سَقَمِكَ، وَفَرَاغَكَ
قَبْلَ شُغْلِكَ،
وَشَبَابَكَ قَبْلَ
هَرَمِكَ، وَغِنَاكَ
قَبْلَ فَقْرِكَ
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima
perkara: masa hidupmu sebelum matimu, masa sehatmu sebelum sakitmu, masa
senggangmu sebelum masa sibukmu, masa mudamu sebelum tuamu, dan masa
kaya/kecukupanmu sebelum fakirmu.” (HR. Al-Hakim dan selainnya. Dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul
Jami’ no. 1077)
Al-Munawi rahimahullah berkata:
“Lakukanlah lima perkara sebelum mendapatkan lima perkara. “Hidupmu sebelum
matimu” yakni pergunakan (hidupmu pada) apa yang akan memberi manfaat setelah
matimu, karena orang yang mati telah terputus amalannya, pupus harapannya,
datang penyesalannya serta beruntun kesedihannya. Maka gadaikanlah dirimu untuk
kebaikanmu. “Dan masa sehatmu sebelum sakitmu” yakni gunakan masa sehat untuk
beramal, karena terkadang datang penghalang seperti sakit sehingga kamu
mendatangi akhirat tanpa bekal. “Dan masa senggangmu sebelum masa sibukmu”
yakni manfaatkan (kesempatan) senggangmu di dunia ini sebelum tersibukkan
dengan kedahsyatan hari kiamat yang awal persinggahannya adalah kubur.
Manfaatkanlah kesempatan yang diberikan, semoga kamu selamat dari adzab dan
kehinaan. “Dan masa mudamu sebelum tuamu”, yakni lakukan ketaatan di saat kamu
mampu sebelum kelemahan usia lanjut menghinggapimu, sehingga kamu akan
menyesali apa yang telah kamu sia-siakan dari kewajiban terhadap Allah subhanahu
wa ta’ala. “Dan masa kayamu sebelum fakirmu” yakni manfaatkan untuk
bersedekah dengan kelebihan hartamu sebelum dipaparkan kepada musibah yang
menjadikanmu fakir, (jika demikian) kamu akan fakir di dunia dan akhirat.
Kelima hal ini tidak diketahui kadar besarnya kecuali setelah tidak ada.” (Faidhul
Qadir, 2/21)
Telah Datang Peringatan
Terkadang telah datang kepada seseorang
peringatan dari tubuhnya sendiri. Suatu hal yang menjadi cambuk supaya
menyadari akan keadaannya. Sungguh uban yang meliputi kepala, kulit yang mulai
keriput dan kekuatan yang mulai melemah merupakan peringatan bahwa ajal telah
dekat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan apakah kami tidak memanjangkan umurmu
dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah
tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (Fathir: 37)
Sebagian ahli tafsir menafsirkan firman
Allah subhanahu wa ta’ala di atas:
“Dan telah datang kepada kamu peringatan” yakni: uban.
Demikian pula jika Allah subhanahu
wa ta’ala telah memberi umur kepada seseorang hingga 60 tahun,
berarti Allah subhanahu wa ta’ala tidak
meninggalkan lagi sebab untuk seorang memiliki alasan. Kesempatan telah
Allah subhanahu wa ta’ala berikan
dan umur telah dipanjangkan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَعْذَرَ
اللهُ إِلَى
امْرِئٍ أُخِّرَ
أَجَلُهُ حَتَّى
بَلَّغَهُ سِتِّيْنَ
سَنَةً
“Allah telah menyampaikan puncak dalam
pemberian udzur/alasan kepada seorang yang diakhirkan ajalnya hingga mencapai
umur 60 tahun.” (HR. Al-Bukhari no. 6419)
Maksud dari hadits ini adalah bahwa tidak lagi
tersisa alasan baginya, seperti dengan mengatakan: “Kalau dipanjangkan ajalku,
niscaya aku akan melakukan apa yang aku diperintah dengannya.” Dijadikannya
umur 60 tahun sebagai batas udzur seseorang, karena itu adalah umur yang
mendekati ajal dan umur (yang seharusnya) seorang itu kembali kepada
Allah subhanahu wa ta’ala, khusyu’ dan
mewaspadai datangnya kematian. Seorang yang berumur lebih dari 60 tahun
hendaklah menekuni amalan-amalan akhirat secara total, karena sudah tidak mungkin
lagi akan kembali kepada keadaannya yang pertama ketika masih kuat dan
semangat. (Lihat Fathul Bari, 11/240)
Umur Umat Ini
Allah subhanahu wa ta’ala telah
menakdirkan bahwa umur umat ini tidak sepanjang umur umat terdahulu. Yang
demikian mengandung hikmah yang terkadang tidak diketahui oleh hamba.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu:
أَعْمَارُ
أُمَّتِـي مَا بَيْنَ
السِّتِّيْنَ إِلَى
السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ
مَنْ يَجُوزُ
ذَلِكَ
“Umur-umur umatku antara 60 hingga 70, dan
sedikit dari mereka yang melebihi itu.” (Dihasankan sanadnya oleh Ibnu
Hajar rahimahullah dalam Fathul
Bari, 11/240)
Maksud dari hadits ini adalah bahwa keumuman
ajal umat ini antara umur 60 hingga 70 tahun, dengan bukti keadaan yang bisa
disaksikan. Di mana di antara umat ini ada yang (mati) sebelum mencapai umur 60
tahun. Ini termasuk dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala dan kasih
sayang-Nya supaya umat ini tidak terlibat dengan kehidupan dunia kecuali
sebentar. Karena umur, badan dan rizki umat-umat terdahulu lebih besar sekian
kali lipat dibandingkan umat ini. Dahulu ada yang diberi umur hingga seribu
tahun, panjang tubuhnya mencapai lebih dari 80 hasta atau kurang. Satu biji
gandum besarnya seperti pinggang sapi. Satu delima diangkat oleh sepuluh orang.
Mereka mengambil dari kehidupan dunia sesuai dengan jasad dan umur mereka,
sehingga mereka sombong dan berpaling dari Allah subhanahu
wa ta’ala. Dan manusia pun terus mengalami penurunan bentuk fisik,
rizki, dan ajal. Sehingga menjadilah umat ini sebagai yang terakhir, yang
mengambil rizki sedikit, dengan badan yang lemah dan pada masa yang pendek,
supaya mereka tidak menyombongkan diri. Ini termasuk dari kasih sayang
Allah subhanahu wa ta’ala terhadap
mereka. Demikian makna ucapan Al-Imam Ath-Thibi rahimahullah seperti
dalam Faidhul Qadir Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir (2/15).
Orang yang Paling Baik
Manusia
terbaik adalah yang mengisi waktu-waktunya dengan amalan yang mengantarkan
kepada kebaikan dunia dan akhiratnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ
النَّاسِ مَنْ
طَالَ عُمُرُهُ
وَحَسُنَ عَمَلُهُ،
وَشَرُّ النَّاسِ
مَنْ طَالَ
عُمُرُهُ وَسَاءَ
عَمَلُهُ
“Sebaik-baik manusia adalah yang panjang
umurnya dan baik amalannya. Dan sejelek-jelek manusia adalah orang yang panjang
umurnya dan jelek amalannya.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu
Bakrah radhiallahu ‘anhu, lihat Shahih
Al-Jami’ no. 3297)
Orang
yang banyak kebaikannya, setiap kali dipanjangkan umurnya maka akan banyak
pahalanya dan dilipatgandakan derajatnya. Maka bertambahnya umur akan bertambah
pula pahala dan amalannya.
Dahulu ada dua orang datang kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan sama-sama masuk Islam. Salah satunya
lebih semangat beramal dibandingkan temannya. Orang yang lebih semangat itu
ikut dalam pertempuran dan terbunuh. Temannya yang satu masih hidup setahun
setelahnya, lalu meninggal di atas ranjangnya. Maka ada seorang sahabat bernama
Thalhah bin ‘Ubaidillah radhiallahu ‘anhu bermimpi
tentang dua orang tersebut. Dalam mimpinya, keduanya ada di pintu surga. Lalu orang
yang matinya di atas ranjangnya dipersilakan untuk masuk surga terlebih dahulu.
Setelah itu temannya yang terbunuh dipersilakan masuk. Paginya, Thalhah
bercerita kepada orang-orang dan mereka takjub (heran) dengannya. Berita mimpi
Thalhah dan takjubnya manusia pun sampai kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
“Bukankah (orang yang mati di ranjangnya) ia masih hidup setahun setelah
(kematian temannya yang terbunuh di jalan Allah) itu?” Sahabat menjawab:
“Benar.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
lagi: “Dan ia mendapati bulan Ramadhan lalu ia puasa dan shalat sekian dan
sekian dalam setahun?” Sahabat menjawab: “Benar.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Jarak (derajat) antara keduanya
lebih jauh daripada jarak antara langit dan bumi.” (Lihat Shahih Sunan Ibnu
Majah no. 3185)
Karena mahalnya umur seorang mukmin, maka
dahulu ada seorang salaf mengatakan: “Sungguh, satu jam kamu hidup padanya yang
kamu beristighfar kepada Allah subhanahu wa ta’ala lebih
baik daripada kamu mati selama setahun.”
Dan
dahulu ada seorang salaf yang sudah tua ditanya: “Apakah kamu ingin mati?”
Jawabnya: “Tidak. Karena masa muda dan kejahatannya telah berlalu, dan kini
datang masa tua bersama kebaikannya. Jika aku berdiri aku mengucapkan
bismillah, jika aku duduk aku mengucapkan alhamdulillah. Aku ingin untuk terus
dalam keadaan seperti ini.”
Dan
ada (pula) seorang salaf lain yang sudah tua ditanya: “Apa yang masih tersisa
dari keinginanmu dalam kehidupan ini?” Ia menjawab: “Menangisi dosa-dosa yang
telah aku lakukan.”
Oleh karena itu, banyak dari salaf kita yang
menangis ketika mau meninggal. Bukan karena berpisah dengan kenikmatan dunia,
namun karena terputus dari amalan-amalan yang biasa dia lakukan berupa shalat
malam, puasa, tilawatul Qur`an dan lainnya. Hal ini seperti yang dialami oleh
Yazid bin Aban Ar-Raqqasyi rahimahullah. (Lihat syarah hadits
Allahumma bi’ilmika al-ghaib –karya Ibnu Rajab rahimahullah hal.
25-26)
Larangan Meminta Kematian
Tidak seyogianya seseorang meminta kematian
tanpa ada sebab yang dibenarkan. Di antara sebab yang dibenarkan adalah ketika
seorang yakin jika agamanya akan terfitnah dan adanya indikasi yang kuat bahwa
cobaan yang dihadapinya akan menjadikannya menyimpang dari agama Allah subhanahu
wa ta’ala. Dalam kondisi seperti ini, perut bumi lebih baik
daripada atasnya. Namun orang yang tidak memiliki alasan yang dibenarkan,
seperti seseorang yang ditimpa penyakit dan sudah berobat tapi tidak kunjung
sembuh atau dililit hutang dan semisalnya, meminta mati dalam keadaan yang
seperti ini dilarang.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ
يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ
الْـمَوْتَ لِضُرٍّ
أَصَابَهُ فَإِنْ
كَانَ لاَ بُدَّ
فَاعِلًا فَلْيَقُلْ:
اللَّهُمَّ أَحْيِنِي
مَا كَانَتِ
الْـحَيَاةُ خَيْرًا
لِي وَتَوَفَّنِي
إِذَا كَانَتِ
الْوَفَاةُ خَيْرًا
لِي
“Janganlah salah seorang dari kalian menginginkan
kematian karena penderitaan yang menimpanya. Jika mau tidak mau harus berbuat
hendaklah ia mengucapkan: ‘Wahai Allah, hidupkanlah aku jika memang hidup lebih
baik bagiku. Dan wafatkanlah aku jika kematian lebih baik bagiku.” (HR.
Al-Bukhari no. 5671)
Seorang mukmin selalu meminta yang terbaik
kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Karena
seseorang tidak tahu apakah setelah kematian kondisinya lebih baik atau bahkan
sebaliknya. Dengan kematian, seseorang sudah terputus dari beramal dan tidak
ada lagi kesempatan untuk bertaubat dan menyesali kesalahan.
Adalah Habib bin ‘Isa Al-Farisi rahimahullah gusar
ketika kematian hendak menjemputnya. Ia mengatakan: “Sungguh aku akan pergi
dengan perjalanan yang belum pernah sejauh itu. Aku akan menelusuri jalan yang
belum pernah sama sekali aku menelusurinya. Aku akan berkunjung menuju
kekasihku (Allah subhanahu wa ta’ala) yang belum
pernah sama sekali aku melihat-Nya. Dan aku akan melihat kedahsyatan yang belum
pernah aku saksikan yang seperti itu.” (Syarah hadits Allahumma bi’ilmika
al-ghaib- Ibnu Rajab rahimahullah hal. 32 dan
lihat kisahnya pada Hilyatul Aulia`, 6/149-155)
Memohon Dipanjangkan Umur
Panjangnya umur bukan jaminan seorang selamat
dari adzab. Lihatlah bagaimana orang Yahudi sangat berambisi untuk diberi umur
panjang. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Masing-masing mereka ingin agar diberi umur
seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya
dari siksa.” (al-Baqarah: 96)
Adapun seorang mukmin tidaklah bertambah umur
kecuali bertambah kebaikan. Oleh karena itu, boleh bagi seseorang untuk
mendoakan panjangnya umur. Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika mendoakan sahabat Anas bin
Malik radhiallahu ‘anhu:
اللَّهُمَّ
أَكْثِرْ مَالَهُ
وَوَلَدَهُ وَأَطِلْ
حَيَاتَهُ وَاغْفِرْ
لَهُ
“Wahai
Allah perbanyaklah hartanya, anaknya dan panjanglah hidupnya (umurnya) serta
ampuni baginya.” (Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 508)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:
“Dalam hadits ini, (ada faedah) bolehnya mendoakan panjangnya umur bagi
seseorang.” (Syarah Shahih Al-Adab Al-Mufrad, 2/311)
Namun seyogianya doa meminta panjang umur
dibarengi dengan permohonan kebaikan dengan panjangnya umur itu. Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Tidak
sepantasnya seseorang mengucapkan (selamat) panjang umur, karena panjangnya
umur terkadang baik dan terkadang jelek. Orang yang jelek adalah yang panjang
umurnya namun jelek amalannya. Berdasarkan hal tadi maka tidak mengapa kalau
mendoakan: ‘Semoga Allah subhanahu wa ta’ala panjangkan
hidupmu di atas ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala’ dan yang
semisalnya.” (Al-Manahi Al-Lafzhiyyah hal. 89)
Para Salaf dalam Melaksanakan Ketaatan dan
Menjaga Waktu
Orang yang membuka lembaran kehidupan generasi
awal umat ini dalam memanfaatkan umur yang ada akan menganggapnya aneh. Seolah
itu adalah dongeng yang tidak ada kenyataannya. Perasaan aneh ini bisa muncul
karena sangat jauhnya kita dengan generasi awal umat ini dalam menyikapi hidup
dan kehidupan. Mereka adalah generasi yang lebih mementingkan akhirat daripada
dunia. Mereka rela berkorban dengan harta, raga dan bahkan nyawa untuk
meninggikan agama Allah subhanahu wa ta’ala. Suatu
generasi yang keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala adalah
tujuan dan harapannya, meski harus dimurkai manusia.
Maka, mencermati kehidupan ulama dalam menjaga
waktu adalah suatu hal yang mestinya diketahui. Karena dengan mengetahui kisah
mereka, semangat akan tumbuh dan kemalasan akan terkikis. Allah subhanahu
wa ta’ala telah menjelaskan kondisi hamba-hamba-Nya yang
mendapatkan kemuliaan dengan firman-Nya:
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam.
Dan di akhir-akhir malam mereka beristighfar (memohon ampun kepada Allah).” (adz-Dzariyat:
17-18)
Lihatlah bagaimana mereka melewati malam-malam
yang indah dengan bergadang untuk melakukan berbagai ketaatan di saat umumnya
manusia terlelap dalam tidurnya. Namun sudah seperti itu keadaannya, mereka
selalu meminta ampun karena masih banyaknya kekurangan dan kesalahan.
Demikianlah orang yang baik, menggabungkan antara semangat beramal dengan
perasaan takut akan adzab Allah subhanahu wa ta’ala. Demikian pula
Ibrahim dan Isma’il e tatkala selesai membangun Ka’bah, rumah Allah subhanahu
wa ta’ala yang termulia, di tempat yang paling mulia yaitu
Makkah. Keduanya berdoa:
رَبَّنَا
تَقَبَّلْ مِنَّا
“Wahai
Allah, terimalah dari kami.” (al-Baqarah: 127)
Berbeda dengan orang yang jelek, mereka
menggabungkan antara jeleknya perbuatan dan sikap merasa aman dari adzab
Allah subhanahu wa ta’ala.
Inilah sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu
‘anhuma, ketika Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu memberitahukannya
tentang hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
orang yang menshalati jenazah akan mendapatkan satu qirath (pahala yang besar)
dan barangsiapa yang mengantarnya hingga dikubur akan mendapatkan dua qirath.
Abdullah belum pernah mendengar hadits itu, lalu ia mengutus seseorang untuk
bertanya kepada ‘Aisyah. Utusan tadi bertanya kepada ‘Aisyah, dan ia menjawab:
“Benar apa yang dikatakan Abu Hurairah.” Ketika utusan tadi telah pulang dan
mengabarkannya, Abdullah mengatakan dengan ucapan penyesalan: “Sungguh kita
telah menyia-nyiakan qirath yang banyak.” (Lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi no.
1040, cet. Al-Ma’arif)
Demikianlah, Abdullah bin Umar radhiallahu
‘anhuma sangat menyesal karena telah terlewatkan kesempatan
untuk mendapatkan pahala besar. Namun, pernahkah kita menyesali kesempatan emas
yang terlewat tanpa kita manfaatkan? Paling yang kita sesali adalah gemerlapnya
dunia yang luput kita dapatkan. Sungguh waktu seseorang adalah modal hidupnya.
Dahulu
bila seorang ahli hadits mendiktekan hadits kepada murid-muridnya dan ia
berhenti sejenak untuk memberi kesempatan muridnya untuk menulis, ia manfaatkan
waktu yang sejenak itu untuk beristighfar dan bertasbih.
Dahulu ada yang menyebutkan tentang Al-Imam
Abdullah bin Al-Imam Ahmad rahimahullah: “Tidaklah aku
melihatnya kecuali tersenyum atau sedang membaca atau menelaah.”
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan
biografi Abdul Wahhab bin Al-Wahhab bin Al-Amin rahimahullah bahwa
waktunya sangat terjaga. Tidaklah berlalu suatu saat kecuali ia sedang membaca,
berdzikir, tahajjud, atau setor hafalan. (Lihat Ma’alim Fi Thariq Thalabil
‘Ilmi karya Abdul Aziz As-Sadhan, hal. 33-37)
Berlindung kepada Allah subhanahu
wa ta’ala dari Ketuaan/ Kepikunan
Semakin lanjut usia seseorang, semakin
berkurang kekuatannya dan melemah fisiknya hingga kembali kepada keadaan yang
serupa dengan anak kecil dalam hal lemahnya tubuh, sedikit akalnya, dan tidak
adanya pengetahuan. Demikian pula munculnya pemandangan yang tidak bagus serta
tidak mampu melakukan banyak ketaatan. Cukuplah seseorang berlindung dari
kepikunan karena Allah subhanahu wa ta’ala telah
menamakannya dengan umur yang paling rendah/hina dan menjadi tidak tahu apa-apa
yang sebelumnya ia tahu. Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa:
اللَّهُمَّ
إِنِّي أَعُوذُ
بِكَ مِنَ
الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ
وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ
“Wahai Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
kelemahan, kemalasan, pengecut, dan kepikunan.” (HR.
Al-Bukhari no. 6367)
Orangtua Berjiwa Muda
Ketahuilah
bahwa selagi manusia masih ada harapan hidup maka tidak akan terputus
harapannya untuk mendapatkan dunia. Bahkan terkadang dirinya tidak mau mencabut
diri dari kelezatan dan syahwat yang maksiat. Setan pun selalu membisikkan
untuk mengakhirkan taubat hingga akhir umurnya. Sehingga bila ia telah yakin
akan mati dan tidak ada harapan lagi untuk hidup, barulah ia sadar dari
mabuknya akan syahwat dunia. Ia pun menyesali penyia-nyiaan umurnya dengan
penyesalan yang hampir membunuh dirinya. Ia meminta dikembalikan ke dunia untuk
bertaubat dan beramal shalih. Namun permintaannya tidak digubris, sehingga
berkumpullah padanya sakaratul maut dan penyesalan atas sesuatu yang telah
lewat.
Allah subhanahu wa ta’ala telah
memperingatkan hamba-Nya akan hal ini, supaya mereka bersiap-siap menghadapi
kematian dengan bertaubat dan beramal shalih sebelum datangnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَأَنِيبُوا
إِلَى رَبِّكُمْ
وَأَسْلِمُوا لَهُ
مِنْ قَبْلِ
أَنْ يَأْتِيَكُمُ
الْعَذَابُ ثُمَّ
لَا تُنْصَرُونَ.
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ
مَا أُنْزِلَ
إِلَيْكُمْ مِنْ
رَبِّكُمْ مِنْ
قَبْلِ أَنْ
يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ
بَغْتَةً وَأَنْتُمْ
لَا تَشْعُرُونَ.
أَنْ تَقُولَ
نَفْسٌ يَا حَسْرَتَا
عَلَى مَا فَرَّطْتُ
فِي جَنْبِ
اللهِ وَإِنْ
كُنْتُ لَـمِنَ
السَّاخِرِينَ
“Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan
berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak
dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan
kepadamu dari Rabbmu sebelum datang adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang
kamu tidak menyadarinya, supaya jangan ada orang yang mengatakan: ‘Amat besar
penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah’.” (az-Zumar:
54-56) [Lihat Latha`iful Ma’arif, Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah hal.
449-450]
‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu berkata: “Dunia pergi membelakangi,
sedangkan akhirat datang menyambut, dan bagi masing-masingnya ada
anak-anak (pecinta)nya. Maka jadilah kalian termasuk ahli akhirat dan jangan
menjadi ahli dunia. Hari ini (kehidupan dunia) adalah tempat beramal bukan
hisab, dan besok (kiamat) hanya ada hisab, tidak ada amal.” (Lihat Shahih
Al-Bukhari, Kitab Ar-Riqaq Bab Fil Amal Wa Thulihi)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ
يَزَالُ قَلْبُ
الْكَبِيْرِ شَابًّا
فِي اثْنَتَيْنِ:
فِي حُبِّ
الدُّنْيَا وَطُولِ
الْأَمَلِ
“Orang
yang sudah tua senantiasa berhati muda pada dua perkara: dalam cinta dunia dan
panjangnya angan-angan (yakni panjangnya umur).” (HR. Al-Bukhari no. 6420)
Manusia
melewati tiga masa dalam hidupnya. Satu masa kekuatan yang diapit oleh dua masa
kelemahan. Masa kekuatan itu adalah masa remaja yang diapit oleh masa kecil dan
masa tua yang penuh kelemahan. Allah swt berfirman,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفاً وَشَيْبَةً
“Allah-lah
yang Menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia Menjadikan (kamu)
setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia Menjadikan (kamu) setelah
kuat itu lemah (kembali) dan beruban.” (QS.ar-Rum:54)
Namun
kali ini kita akan fokus kepada masa tua. Dalam ayat lain Allah menyebut “masa
tua” dengan istilah yang menarik dan penuh makna. Allah berfirman,
وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِن بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئاً
“Dan
(ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua, sehingga
dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya.” (QS.al-Hajj:5)
Masa
tua dalam ayat ini disebut (أَرْذَلِ
الْعُمُرِ) yang memiliki arti “masa yang tidak bernilai”.
Mengapa disebut tidak bernilai?
Kita akan temukan jawabannya pada penggalan ayat
selanjutnya yaitu, “sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya.”
Ya,
usia tua disebut dengan “masa yang tidak bernilai” karena disaat itu sebagian
manusia mengalami pikun atau lupa dengan sesuatu yang penah ia ketahui. Karena
hilangnya pengetahuan itulah maka masa ini tidak berarti dan tak memiliki
nilai.
Tapi
hal ini tidak berlaku untuk semua orang yang berada pada usia tua. Karena
orang-orang usia lanjut yang masih aktif dan senantiasa melakukan kebaikan
umurnya masih sangat bernilai. Bahkan mereka tergolong ke dalam sabda nabi
Muhammad saw,
خَيْرُكُمْ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَ حَسُنَ عَمَلُهُ
“Sebaik-baik kalian adalah yang umurnya panjang dan
amalnya baik.”
Maka
dapat kita simpulkan bahwa nilai umur manusia bergantung kepada pengetahuan
yang ia miliki. Tanpa pengetahuan maka kehidupannya tak bernilai sama sekali.
Karena itulah masa terbaik manusia adalah masa yang selalu bergandengan dengan
ilmu dan pengetahuan.
Sayyidina
Ali bin Abi tholib as berkata,
اَلْجَهْلُ فِي الْإِنْسَانِ أَضَرُّ مِنَ الْأَكِلَةِ فِي الْأَبْدَانِ
“Kebodohan pada diri manusia itu lebih berbahaya
dari (makanan yang membawa penyakit) didalam badan.”
Mari
kita hiasi kehidupan kita dengan menambah ilmu dan pengetahuan karena keduanya
adalah kekayaan manusia yang paling berharga.
Misteri Usia 60 Tahun
Benarkah
manusia diberi uzur sampai usia 60 tahun? Lalu uzur yang dimaksud itu seperti
apa?
Jawab:
Bismillah
was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Pada
hari kiamat kelak, penghuni neraka meminta kepada Allah agar mereka dikeluarkan
dari neraka dan dikembalikan ke dunia agar bisa beramal baik, tidak seperti
amal kekufuranya yang dulu. Allah berfirman,
وَهُمْ
يَصْطَرِخُونَ
فِيهَا
رَبَّنَا
أَخْرِجْنَا
نَعْمَلْ
صَالِحًا
غَيْرَ
الَّذِي
كُنَّا
نَعْمَلُ
Mereka
berteriak di dalam neraka itu: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan
mengerjakan amal saleh tidak seperti amalan yang telah kami kerjakan
(kekufuran).”
Allah
menjawab permintaan mereka dengan berfirman,
أَوَلَمْ
نُعَمِّرْكُمْ
مَا
يَتَذَكَّرُ
فِيهِ
مَنْ
تَذَكَّرَ
وَجَاءَكُمُ
النَّذِيرُ
فَذُوقُوا
Bukankah
Aku telah memanjangkan usia kalian dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi
orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu an-Nadzir
(pemberi peringatan)? maka rasakanlah. (QS. Fathir: 37).
Ayat
ini menjelaskan bahwa usia yang Allah berikan kepada umat manusia menjadi
hujjah dan alasan Allah untuk mengadili manusia, disamping adanya an-Nadzir yang
datang kepada kita.
Ulama
berbeda pendapat tentang makna an-Nadzir dalam
ayat di atas. Diantaranya,
1.
Uban
di rambut. Ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Ikrimah dan Sufyan bin Uyaiah
2.
an-Nadzir (Sang Pemberi
Peringatan) adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini merupakan pendapat
Qatadah, Ibn Zaid, dan Ibn Saib.
(Zadul
Masir, 5/182)
Sehingga
di sana ada dua peringatan yang Allah berikan, yang menjadi alasan Allah
menuntut manusia, usia dan para utusan.
Peringatan Bagi Yang Berusia 60
Tahun
Dalam
hadis shahih, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْذَرَ
اللَّهُ
إِلَى
امْرِئٍ
أَخَّرَ
أَجَلَهُ
حَتَّى
بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً
Allah
memberi udzur kepada seseorang yang Dia akhirkan ajalnya, hingga sampai usia 60
tahun. (HR. Bukhari 6419).
Al-Hafidz
Ibnu Hajar mengatakan,
وَالْمَعْنَى أَنَّهُ لَمْ يَبْقَ
لَهُ
اعْتِذَارٌ كَأَنْ يَقُولَ لَوْ مُدَّ لِي فِي الْأَجَلِ لَفَعَلْتُ مَا أُمِرْتُ بِهِ ….
وَإِذَا
لَمْ
يَكُنْ
لَهُ
عُذْرٌ
فِي
تَرْكِ
الطَّاعَةِ
مَعَ
تَمَكُّنِهِ
مِنْهَا
بِالْعُمُرِ
الَّذِي
حَصَلَ
لَهُ
فَلَا
يَنْبَغِي
لَهُ
حِينَئِذٍ
إِلَّا
الِاسْتِغْفَارُ
وَالطَّاعَةُ
وَالْإِقْبَالُ
عَلَى
الْآخِرَةِ
بِالْكُلِّيَّةِ
Makna
hadis bahwa udzur dan alasan sudah tidak ada, misalnya ada orang mengatakan,
“Andai usiaku dipanjangkan, aku akan melakukan apa yang diperintahkan
kepadaku.”
Ketika
dia tidak memiliki udzur untuk meninggalkan ketaatan, sementara sangat
memungkinkan baginya untuk melakukannya, dengan usia yang dia miliki, maka
ketika itu tidak ada yang layak untuk dia lakukan selain istighfar, ibadah
ketaatan, dan konsentrasi penuh untuk akhirat. (Fathul Bari, 11/240).
Muda Boleh Seenaknya
Hadis
di atas tidak bisa kita pahami sebaliknya, bahwa orang yang usianya di bawah 60
tahun, berarti dibolehkan untuk menunda ketaatan dan taubat. Maksud hadis,
mereka yang telah mencapai usia 60 tahun, seharusnya lebih banyak
konsentrasinya diarahkan untuk akhirat, dan mulai mengurangi kesibukan
dunia.
Al-Maghamisi
mengatakan,
ولا
يعني
ذلك
أبداً
أن
من
دون
الستين
لهم
الحجة
على
الله،
فليس
لأحد
حجة
على
الله
بعد
إرسال
الرسل،
وإنزال
الكتب؛
لكن
المقصود
من
الحديث
حث
من
بلغ
هذا
السن
من
الناس
أن
يتقي
الله
جل
وعلا
فيما
بقي
من
عمره
Bukan
maksud hadis bahwa orang yang usianya di bawah 60 tahun, berarti dia punya
alasan di hadapan Allah. Karena semua orang tidak memiliki alasan di hadapan
Allah (untuk melanggar) setelah Allah mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan
kitab. Namun maksud hadis, motivasi bagi manusia yang telah mencapai usia ini
untuk semakin bertaqwa kepada Allah di sisa usianya. (Syarh kitab ar-Raqaiq min
Shahih Bukhari).
Nasehat Imam Fudhail bin Iyadh
Dikisahkan
dalam kitab al-Hilyah, bahwa Imam Fudhail bin Iyadh – ulama besar di masa Tabi’
Tabiin – (w. 187 H) bernah bertemu dengan seorang yang sudah tua.
“Berapa
usia anda?”, tanya Fudhail.
“60
tahun.”, Jawab orang itu.
“Anda
selama 60 tahun berjalan menuju Tuhan anda, dan sebentar lagi anda akan
sampai.” Komentar Fudhail
“Inna Lillahi Wa Inna
Ilaihi raji’un.” Orang itu keheranan.
“Anda
paham makna kalimat itu? Anda paham tafsirnya?” tanya Fudhail.
“Tolong
jelaskan tafsirnya?” Orang itu balik tanya.
“Anda
menyatakan: innaa
lillaah (kita milik Allah), artinya kita adalah hamba Allah
dan kita akan kembali kepada Allah. Siapa yang yakin bahwa dia hamba Allah dan
dia akan kembali kepada-Nya, seharusnya dia menyadari bahwa dirinya akan
berdiri di hadapan Allah. Dan siapa yang meyakini hal ini, dia harus sadar
bahwa dia akan ditanya. Dan siapa yang yakin hal ini, dia harus menyiapkan
jawabannya.” Jelas Fudhail.
“Lalu
bagaimana jalan keluarnya?” tanya orang itu.
“Caranya
mudah.” Tegas Fudhail.
Kemudia
Imam Fudhail menyebutkan sebuah teori bertaubat, yang layak dicatat dengan
tinta emas,
تُحْسِنُ
فِيمَا
بَقِيَ
يُغْفَرُ
لَكَ
مَا
مَضَى
وَمَا
بَقِيَ
, فَإِنَّكَ
إِنْ
أَسَأْتَ
فِيمَا
بَقِيَ
أُخِذْتَ
بِمَا
مَضَى
وَمَا
بَقِيَ
Berbuat
baiklah di sisa usiamu, dengan itu akan diampuni dosa-dosamu yang telah lalu
dan yang akan datang. Karena jika kamu masih rajin bermaksiat di sisa usiamu
maka kamu akan dihukum karena dosamu yang telah lalu dan dosamu yang akan
datang. (Hilyah Al Awliya’, 8/113).
Tidak
ada satupun makhluk yang tahu berapa sisa usianya. Kita tidak tahu kapan maut
akan menjemput. Karena itu, apa yang sedang kita alami, itulah sisa usia kita
yang sejatinya.
Allahu
a’lam
Muda foya-foya, tua kaya raya, mati
masuk surga!” Tiga frase yang
dahsyat sekali jika kita bisa melaluinya. Kalau tidak salah, saya pertama kali
membaca kalimat ini di kaos Joger Jelek - si pabrik kata-kata di Bali. Kalau boleh saya ubah sedikit redaksinya
menjadi, "Muda foya foya, tua kaya raya, mati khusnul khotimah",
mungkin akan lebih enak didengar. Saya
pernah bertanya pada seorang ustadz – “Ada nggak ya pak ustadz manusia yang
sekti seperti yang digambarkan tiga frase tersebut, "Muda foya foya, tua
kaya raya, mati khusnul khotimah" ?” Kata
pak ustadz tidak mungkin, akhir hidup seorang hamba Allah itu mencerminkan
kehidupannya selama didunia. Artinya jika hidup didunia penuh foya-foya, jauh
dari ibadah, jauh dari Allah, pasti matinya nggak jauh beda sama kehidupan yang
dilaluinya, yaitu jauh dari Allah, jauh dari khusnul khotimah. Tapi jika hidupnya penuh dengan ibadah kepada
Allah maka Insyaallah akhir hayatnya pun akan selalu dalam rahmat dan lindungan
Allah. (Oh, gitu yah....) ---------- Almarhum Prof. Mr Kasman Singodimejo, pernah
berkata: “Dalam Islam itu yang penting matinya khusnul khatimah. Hidupnya
sebelumnya bejat, nggak jadi soal. Yang penting matinya khusnul khatimah. Tapi
masalahnya, tahukah saudara, kapan saudara akan mati?". Yup bener juga, kita nggak tahu kapan kita mati. Tapi saya masih penasaran dengan 3 frase
tersebut, masa nggak ada sih disekian juta manusia – Allah menunjukkan
kebesarannya ke satu-dua manusia pilihan yang bener-bener merasakan nikmat
hidayah Allah di akhir hayatnya? Saya
jadi ingat dengan satu nama, Bangun Sugito Tukiman, pria yang lahir di Biak
Papua 1 November 1947 – yang kita kenal dengan Gito Rollies. Beliau meninggal
pada tanggal 28 Febuari 2008 diusianya yang ke 60. Bangun Sugito Tukiman, adalah salah satu nama dari
sekian juta penduduk negeri ini yang terhipnotis oleh musik rock (barat). Figur
The Rolling Stones, dengan lead vocal-nya Mick Jagger, menjadi idolanya sejak
remaja. Sejak remaja Bangun
Sugito tinggal di Bandung, terkenal sangat berandal. Aksi nekatnya tercatat di
tahun 1967, yang memembuat kota Bandung gempar, saat itu ketika dirinya yang
mendapat cap “Siswa Bengal” ternyata termasuk salah satu siswa yang lulus dari
SMA-nya. Maklum Daftar kenakalannya lebih panjang dari daftar absen murid
dikelasnya, sehingga ia tak yakin jika namanya akan tertulis di papan
pengumuman kelulusan. Kesukacitaan
atas kelulusannya dilampiaskan dengan gaya ala rocker, dengan melakukan aksi
tanpa busana sambil naik sepeda motor mengelilingi kota kembang
(tempointeraktif.com). Saat
dia berkibar dengan grup musiknya The Rollies, dia hidup bergelimang harta dan
ketenaran, kehidupan mudanya penuh dengan hura-hura. Bahkan pernah dia
mengatakan disuatu interview, “Tiap Jumat siang kami berangkat ke daerah Puncak
Bogor untuk pesta miras dan narkoba”. Tapi
siapa yang menyangka, di tahun 1995, atau tepatnya setelah 10 November 1995, Si
Rocker satu ini baru benar-benar berhenti mengkonsumsi drugs dan alkohol,
setelah mengalami sebuah peristiwa yang memembuatnya shock lahir batin. Ceritanya, sepulang dari konser Hari Pahlawan di
Surabaya, di bawah pengaruh narkoba, Gito Rollies selama tiga hari mengalami
‘fly berat’ akibat ngedrugsnya. Dia tidak bisa makan dan tidak bisa tidur,
selama tiga hari itu antara sadar dan tidak sadar dia tersiksa dan dia
merasakan semua kelakuannya di masa lalu seperti diputar di depan matanya.
“Saya takut sekali,” ujarnya seperti diungkapkan kepada koran Tempo. Perubahan yang terjadi pada sosok Gito Rollies
sedemikian dahsyatnya. Dunia hiburan Indonesia, tak percaya - seorang Rocker
yang bisa berubah menjadi “ustadz” dan berdakwah kepada teman-teman
seprofesinya. Gito Rollies
meninggal saat sedang berdakwah. Beliau meninggal akibat penyakit kanker getah
bening. Luar biasa, penyakit kanker getah bening yang terus menggerogoti
tubuhnya tidak menyurutkan semangat dakwahnya. "Muda foya foya, tua kaya raya, mati
khusnul khotimah". Mungkin pas untuk menggambarkan kehidupan seorang
Bangun Sugito ini. Aamiin. ------------ Kematian adalah misteri illahi, tidak ada yang
tahu kapan kita mati. Lain cerita jika usia kita sudah tua, tanda-tanda
kematian kadang sudah diperlihatkan oleh Allah. Sebagian Para Nabi berkata kepada Malaikat
pencabut Nyawa. “Tidakkah Kau memberikan Aba-aba atau peringatan kepada Manusia
bahwa kau datang sebagai malaikat pencabut nyawa sehingga mereka akan lebih
hati-hati?” Malaikat itu
menjawab. “Demi Allah, aku sudah memberikan aba-aba dan tanda-tandamu yang
sangat banyak berupa penyakit, uban, kurang pendengaran, penglihatan mulai
tidak jelas. Semua itu adalah peringatan bahwa sebentar lagi aku akan
menjemputnya. Apabila setelah datang aba-aba tadi ia tidak segera bertobat dan
tidak mempersiapkan bekal yang cukup, maka aku akan serukan kepadanya ketika
aku cabut nyawanya: “Bukan kah aku telah memberimu banyak aba-aba dan
peringatan bahwa aku sebentar lagi akan datang? Ketahuilah, aku adalah
peringatan terakhir, setelah ini tidak akan datang peringatan lainnya “ (HR
imam qurthubi) -------- Diusia kita yang terus berkurang, jika boleh
meminta – semoga Allah mematikan kita dengan khusnul khotimah. Menghadapi
sakratul maut adalah menghadapi nyeri dan rasa sakit yang sangat luar biasa
dahsyatnya. Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002), skala nyeri divisualkan
dengan angka dari 0 sampai dengan 10, dimana nilai 0 adalah tidak nyeri, dan
nilai 10 adalah nyeri yang amat sangat – yang mana si pasien ini sudah tidak
mampu lagi berkomunikasi, hanya diam tiada berkata bahkan bergerak karena
nyerinya – mungkin sakratul maut terletak di angka 1.000.000 ! Wallahua’lam. Saya jadi teringat, ada ayahanda dari seorang
teman, yang meninggal di saat sholat, Subhanallah mungkin beliau tidak
merasakan nyeri sakratul maut yang kita tidak bisa ukur tingkat nyerinya tadi.
Ada kisah tentang sahabat nabi, sahabat Ali bin Abi Thalib, ketika itu beliau
terkena anak panah yang menembus tubuhnya. Ketika anak panah tersebut mau
dicabut oleh sahabat lainnya, beliau meminta – cabutlah ketika aku sholat.
Kemudian Ali mendirikan sholat sunah dengan khusuknya, maka dicabutlah anak
panah tersebut. Ketika selesai dari shalatnya, sayyidina Ali bertanya kepada
para sahabat, - ”Sudahkan kalian cabut anak panah tersebut?” - Dan para sahabat
menjawabnya, “sudah.” Sedemikian shalatnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib, hingga
tembusan anak panah pun tidak dirasakan menyakitkan dan bahkan beliau bisa
menyelesaikan sholat sunahnya. Indah
rasanya mengenang kembali kisah beliau beliau diatas. Hidayah dan rahmat Allah
yang diberikan pada manusia manusia pilihanNya. Bulan bonus yang Allah berikan kepada manusia
baru saja kita lewati. Satu bulan yang penuh dengan ampunan telah berlalu,
seberapa besar keberhasilan kita dalam puasa kemarin, seberapa besar
keberhasilan kita meminta ampun kemarin? Kita tidak tahu apakah tahun depan
kita masih bisa bertemu dengan bulan Ramadhan ini. Semoga Allah masih memberikan kesempatan kepada
kita untuk bertemu Ramadhan tahun depan. Akhir kata, selamat idul fitri, mohon
maaf lahir bathin, Taqaballahu minna wa minkum.
Umur tak menjadi alasan seseorang untuk berhenti belajar. Banyak ulama
yang mulai mempelajari agama di usia yang sudah tak muda lagi.
tirto.id - Mendengar kabar kematian
tetangganya, Ibnu Hazm Al-Andalusy segera menuju masjid. Pakaian laiknya orang
akan beribadah segera ia kenakan dan tidak lupa pula mengusapkan sedikit parfum
dan wewangian di kedua telapak tangannya. Sesampainya di masjid, kala itu bakda
asar, Ibnu Hazm langsung duduk bersimpuh sembari menunggu jenazah datang.
Ia kaget bukan kepalang ketika ada seorang dari arah belakang menegurnya. "Jangan duduk. Berdirilah. Waktunya salah tahiyat masjid."
Ibnu Hazm langsung berdiri dan salat dua rakaat. Jenazah datang dan ritual salat jenazah dimulai. Rampung salat jenazah, Ibnu Hazm berdiri kembali dan melaksanakan dua rakaat salat. Mendapati hal itu, seseorang menegurnya kembali, "Duduklah. Sekarang adalah waktu yang diharamkan untuk salat."
Ibnu Hazm malu bukan kepalang. Hari itu ia merasa menjadi manusia paling bodoh di muka bumi. Pengetahuan agamanya nol besar. Sementara usianya lebih dari seperempat abad. Namun, kejadian memalukan itu tampaknya menjadi cambuk pelecut Ibnu Hazm. Lelaki yang kelak menjadi salah satu penyokong mazhab Ad-Dzahiri ini memulai pengembaraan ilmu di usianya yang tergolong telat.
Jika ulama-ulama besar lain belajar agama sejak kecil, bahkan sejak masih kanak-kanak sudah banyak yang hafal kitab suci, maka tidak demikian yang terjadi pada Ibnu Hazm. Ia telat masuk "sekolah".
Telat belajar bukan berarti otomatis gagal. Ibnu Hazm adalah hujah bahwa usia tidak menjadi penghalang untuk berpeluh dalam belajar. Menurut adz-Dzahabi dalam kitab Siyarul Alam Nubula, terbukti kelak Ibnu Hazm menjadi salah satu ulama prolifik yang menguasai banyak disiplin ilmu.
Apa yang dialami Ibnu Hazm An-Andalusy sebelas-dua belas dengan jalan yang ditempuh Zakaria Al-Anshari. Ulama moncer dari Mazhab Syafi'i ini juga memulai belajar pada usia 26 tahun. Meski telat, ketekunan berhasil menghantarkannya pada altar ilmu sekaligus menjadi ulama papan atas bergelar Syaikhul Islam. Kesungguhan dan ketekunan menjadi dua kata kunci yang mengantarkan mereka menjadi ulama-ulama yang kompeten dan mumpuni di pelbagai disiplin keilmuan.
Kategori telat belajar yang menimpa Ibnu Hazm dan Zakaria Al-Anshari tergolong masih sedang. Jika mengikuti pola pembagian klasifikasi usia manusia yang dibuat dalam Zaadul Maad, maka keduanya masih termasuk dalam usia muda atau usia produktif.
Beda kasus dengan yang terjadi pada Ali bin Hamzah Al-Kisai. Ulama yang terkesan sebagai linguis sekaligus pakar susastra dari Mazhab Kufah ini baru belajar ketika usianya masuk kepala empat. Jika Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul pada usia empat puluh, maka Al-Kisai baru memulai belajar perkara perkara dasar agama di usia itu. Mirip-mirip dengan yang dilakoni oleh Al-Kisai, Sulaim bin Ayyub Ar Razi juga memulai belajar di usia empat puluh.
Ia kaget bukan kepalang ketika ada seorang dari arah belakang menegurnya. "Jangan duduk. Berdirilah. Waktunya salah tahiyat masjid."
Ibnu Hazm langsung berdiri dan salat dua rakaat. Jenazah datang dan ritual salat jenazah dimulai. Rampung salat jenazah, Ibnu Hazm berdiri kembali dan melaksanakan dua rakaat salat. Mendapati hal itu, seseorang menegurnya kembali, "Duduklah. Sekarang adalah waktu yang diharamkan untuk salat."
Ibnu Hazm malu bukan kepalang. Hari itu ia merasa menjadi manusia paling bodoh di muka bumi. Pengetahuan agamanya nol besar. Sementara usianya lebih dari seperempat abad. Namun, kejadian memalukan itu tampaknya menjadi cambuk pelecut Ibnu Hazm. Lelaki yang kelak menjadi salah satu penyokong mazhab Ad-Dzahiri ini memulai pengembaraan ilmu di usianya yang tergolong telat.
Jika ulama-ulama besar lain belajar agama sejak kecil, bahkan sejak masih kanak-kanak sudah banyak yang hafal kitab suci, maka tidak demikian yang terjadi pada Ibnu Hazm. Ia telat masuk "sekolah".
Telat belajar bukan berarti otomatis gagal. Ibnu Hazm adalah hujah bahwa usia tidak menjadi penghalang untuk berpeluh dalam belajar. Menurut adz-Dzahabi dalam kitab Siyarul Alam Nubula, terbukti kelak Ibnu Hazm menjadi salah satu ulama prolifik yang menguasai banyak disiplin ilmu.
Apa yang dialami Ibnu Hazm An-Andalusy sebelas-dua belas dengan jalan yang ditempuh Zakaria Al-Anshari. Ulama moncer dari Mazhab Syafi'i ini juga memulai belajar pada usia 26 tahun. Meski telat, ketekunan berhasil menghantarkannya pada altar ilmu sekaligus menjadi ulama papan atas bergelar Syaikhul Islam. Kesungguhan dan ketekunan menjadi dua kata kunci yang mengantarkan mereka menjadi ulama-ulama yang kompeten dan mumpuni di pelbagai disiplin keilmuan.
Kategori telat belajar yang menimpa Ibnu Hazm dan Zakaria Al-Anshari tergolong masih sedang. Jika mengikuti pola pembagian klasifikasi usia manusia yang dibuat dalam Zaadul Maad, maka keduanya masih termasuk dalam usia muda atau usia produktif.
Beda kasus dengan yang terjadi pada Ali bin Hamzah Al-Kisai. Ulama yang terkesan sebagai linguis sekaligus pakar susastra dari Mazhab Kufah ini baru belajar ketika usianya masuk kepala empat. Jika Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul pada usia empat puluh, maka Al-Kisai baru memulai belajar perkara perkara dasar agama di usia itu. Mirip-mirip dengan yang dilakoni oleh Al-Kisai, Sulaim bin Ayyub Ar Razi juga memulai belajar di usia empat puluh.
Mulai Belajar di Usia 70
Semukabalah
dengan jalan yang ditempuh oleh Al-Kisa’i adalah ulama fikih brilian dari
Mazhab Syafi’i bernama Al-Qaffal Al-Marwazi. Lelaki yang berprofesi sebagai
tukang duplikat kunci ini sampai usia empat puluh tahun hidup dalam kegelapan.
Ia tidak mengerti agama sama sekali. Ia hanya sekadar menjalani hidup dan
memenuhi kebutuhan. Kerja lembur sering ia lakoni dan banting tulang untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Belajar di usia yang tergolong sudah
matang membuatnya kesulitan. Daya ingat yang sudah mulai menurun diceritakan
sempat menjadi penghalang utama yang merontokkan semangat Al-Qaffal.
Namun kegigihan dan ketekunannya serta motivasi dari guru-gurunya berhasil memompa ban kempis semangatnya. Ia menjadi pribadi yang haus ilmu. Ia belajar dari pagi sampai larut. Ketekunannya itulah yang mengantarkannya menjadi pribadi yang cemerlang dan disegani di bidang ilmu fikih kalangan Mazhab Syafi’i. Ia meninggal di usia delapan puluh tahun.
Banyak ulama yang mengatakan bahwa Al-Qaffal adalah contoh terbaik bagaimana Tuhan memberikan skenario pencerahan kepada hambanya. Separuh hidupnya ada di dalam kegelapan dan kejahilan, sementara separuh yang lain berhasil dijalaninya dalam gemerlap cahaya yang cemerlang.
Namun, urusan senioritas ketelatan dan mencari ilmu belum ada yang menandingi Sholeh bin Kaisan. Seperti dikisahkan dalam kitab Tadzhibud Tadzhib, lelaki alim ini baru memulai belajar dan mencari ilmu di usia yang jauh meninggalkan batas usia pensiun pegawai. Ia belajar agama pada saat usianya tepat masuk kepala tujuh. Meskipun sangat telat, banyak riwayat menyatakan ketangguhan ingatan Sholeh bin Kaisan dalam menghafal hadis sehingga kerap mengalahkan pewari-perawi lain yang usianya lebih mudah.
Ulama-ulama yang memiliki ketekunan luar biasa hidup tidak berdasarkan angka hitungan usia. Umur diperlakukan sebagai deretan angka semata. Semangat, integritas, dan kesungguhan dalam belajar adalah kunci utama mengapa mereka bisa move on dari kehidupan yang penuh kejahilan ke arah cahaya ilmu pengetahuan. Inilah jalan pencerahan yang dalam bahasa Quraish Shihab disebut dengan At-Tariq Al-Ishraqy atau pencerahan batin.
Namun kegigihan dan ketekunannya serta motivasi dari guru-gurunya berhasil memompa ban kempis semangatnya. Ia menjadi pribadi yang haus ilmu. Ia belajar dari pagi sampai larut. Ketekunannya itulah yang mengantarkannya menjadi pribadi yang cemerlang dan disegani di bidang ilmu fikih kalangan Mazhab Syafi’i. Ia meninggal di usia delapan puluh tahun.
Banyak ulama yang mengatakan bahwa Al-Qaffal adalah contoh terbaik bagaimana Tuhan memberikan skenario pencerahan kepada hambanya. Separuh hidupnya ada di dalam kegelapan dan kejahilan, sementara separuh yang lain berhasil dijalaninya dalam gemerlap cahaya yang cemerlang.
Namun, urusan senioritas ketelatan dan mencari ilmu belum ada yang menandingi Sholeh bin Kaisan. Seperti dikisahkan dalam kitab Tadzhibud Tadzhib, lelaki alim ini baru memulai belajar dan mencari ilmu di usia yang jauh meninggalkan batas usia pensiun pegawai. Ia belajar agama pada saat usianya tepat masuk kepala tujuh. Meskipun sangat telat, banyak riwayat menyatakan ketangguhan ingatan Sholeh bin Kaisan dalam menghafal hadis sehingga kerap mengalahkan pewari-perawi lain yang usianya lebih mudah.
Ulama-ulama yang memiliki ketekunan luar biasa hidup tidak berdasarkan angka hitungan usia. Umur diperlakukan sebagai deretan angka semata. Semangat, integritas, dan kesungguhan dalam belajar adalah kunci utama mengapa mereka bisa move on dari kehidupan yang penuh kejahilan ke arah cahaya ilmu pengetahuan. Inilah jalan pencerahan yang dalam bahasa Quraish Shihab disebut dengan At-Tariq Al-Ishraqy atau pencerahan batin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar