Selasa, 22 Oktober 2019

BEKAL DI USIA SENJA


NASEHAT AL QURAN BAGI MEREKA
 YANG TELAH BERUSIA LANJUT

http://www.fadhilza.com/wp-content/uploads/2013/04/yasin-68.png
 68. Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya) . Maka apakah mereka tidak memikirkan? (Yasin 68)

Allah telah menjelaskan dalam surat Yasin ayat 68 bahwa siapa yang dipanjangkan umurnya sampai usia lanjut  akan dikembalikan menjadi lemah seperti keadaan semula.  Keadaan itu ditandai dengan rambut yang mulai memutih, penglihatan mulai kabur, pendengaran sayu sayup sampai, gigi mulai berguguran, kulit mulai keriput, langkahpun telah gontai. Ini adalah sunnatullah yang tidak bisa ditolak oleh siapapun. Siapa yang disampaikan oleh Allah pada usia lanjut bersiaplah untuk mengalami keadaaan seperti itu.
Keadaan ketika badan mulai menjadi lemah pada usia lanjut merupakan peringatan atau lampu kuning dari Allah bahwa kehidupan dunia ini akan segera berakhir, siapa yang mau hendaklah mempersiapkan diri untuk menghadapi datangnya saat perpisahaan dengan kehidupan dunia. Sayang banyak orang yang tidak menyadari peringatan ini, mereka masih asik mengejar kekayaan dan berbagai kesenangan hidup dunia  walaupun tubuh mereka tidak lagi mampu menikmati semua itu seperti ketika masih muda dahulu.
Bagi kebanyakan orang Indonesia masa masa lemah itu biasanyanya mulai muncul ketika usia sudah mencapai 60 tahun. Ketika memasuki usia seperti itu banyak orang yang masih energik sibuk dengan urusan dunianya, ada juga yang mulai menepi memikirkan perbekalan untuk kehidupan akhiratnya.
Mereka yang masih sibuk dengan urusan dunianya termasuk kelompok orang yang lalai. Mereka sibuk mengumpulkan sesuatu yang akan mereka tinggalkan dan lupa menyiapkan perbekalan untuk kehidupan abadi dikampung akhirat. Pada kenyataannya kelak semua harta benda seperti rumah, mobil, usaha bisnis, kebun, karib kerabat, sanak famili terpaksa mereka tinggalkan , ketika malaikat maut datang menjemput mereka. Mereka berangkat meninggalkan kehidupan dunia memasuki alam barzakh tanpa membawa perbekalan apapun. Ketika itu mereka baru menyadari kekeliruan mereka. Namun  nasi sudah jadi bubur mereka tidak bisa berbuat apa apa selain dari menyesali nasibnya.
Orang yang arif dan bijaksana dihari itu mulai mengurangi aktifitas dunianya. Mereka mulai menyibukan diri meningkatkan ibadahnya pada Allah. Hari hari  mereka banyak dihabiskan  dengan kegiatan ibadah dzikir, tasbih ,  shalat sunah, dhuha dan tahajud serta membaca Qur’an. Dimasa muda dahulu mungkin kegiatan itu jarang mereka lakukan, mereka terlalu sibuk dengan urusan dunianya. Sekarang dihari tua ketika anak anak mereka semua sudah mandiri, ekonomi juga sudah mapan cukup arif jika mereka mulai memikirkan bekal yang akan mereka bawa pada kehidupan akhirat kelak.
Tidak dipungkiri ada juga mereka yang kurang beruntung dihari tuanya.Disaat badan sudah renta mereka masih harus bekerja keras memenuhi kebutuhan hidupnya untuk mencari sesuap nasi. Mereka tidak punya cukup waktu untuk melakukan ibadah , berdzikir, bartasbih, membaca Quran dan mengerjakan shalat sunah lainnya. Hari hari mereka habis hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari setelah letih bekerja merekapun  tertidur. Ada pula yang hari harinya dihabiskan hanya ditempat tidur karena menderita sakit menahun yang tak kunjung sembuh.
Berikut kami sampaikan beberapa ayat Qur’an sebagai nasehat bagi mereka  yang sudah memasuki usia lanjut, hingga bisa melalui hari tua serta  saat sakratul mautnya dengan baik dan ditempatkan pada tempat terhormat di alam barzakh kelak.
1.      YASIN AYAT 68
http://www.fadhilza.com/wp-content/uploads/2013/04/yasin-681.png
68. Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya) . Maka apakah mereka tidak memikirkan? (Yasin 68)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa siapa yang dipanjangkan usianya akan dikembalikan menjadi lemah seperti keadaan semula. Bahkan ada yang dikembalikan seperti keadaan masih bayi, lemah tidak berdaya dan tidak mengetahui apa apa yang pernah diketahuinya. Semua ilmu yang dimiliki telah lenyap. Daya ingatnya amat terbatas ia tidak ingat dan tidak tahu apa yang baru saja diucapkannya. Ini adalah sunatullah yang pasti terjadi pada siapa saja. Sudahkan kita siapa menghadapi masa seperti itu ?
Dihari tua ketika badan sudah lemah dan tidak berdaya  ada orang yang dijadikan Allah dalam naungan kasih sayangnya. Ia berada dalam lindungan orang orang yang menyayangi dan mencintainya. Semua fasilitas dan kebutuhannya dihari itu dicukupkan oleh orang yang menyayangi mereka. Namun ada juga orang yang berada dalam keadaan terlunta lunta, berada ditengah orang yang membenci nya. Ia menghadapi semua keadaan itu seorang diri, tidak ada yang menyayangi atau menyantuninya.
Dengarkan ayat diatas berulang ulang, resapi dan hayati maknanya. Kemudian tadabburi ayat tersebut dengan penuh penghayatan:
“ Ya Allah telah kau ingatkan pada kami dalam Qur’anMu yang Agung, bahwa barang siapa yang Kau panjangkan usianya akan Kau jadikan menjadi lemah seperti keadaan semula, agar kami memikirkannya.
Ya Allah jika datang saat yang Kau janjikan itu, ketika rambut kami telah memutih, penglihatan kami telah kabur, pendengaran kami sayup sayup sampai, gigi kami telah berguguran, kulit kami telah keriput, dan langkah kami telah gontai jadikan kami dihari itu dalam naungan kasih sayangMu. Jangan Kau hinakan kami dihari itu, jangan Kau jadikan kami dalam keadaan terlunta lunta dan tersia sia.
Kelilingi kami dengan orang orang yang menyayangi dan megasihi kami, cukupkan semua hajat dan  kebutuhan kami dihari itu . Jadikan kami dalam naungan kasih sayangMu, jadikan kami berada pada tempat yang aman nyaman dan tentram dalam lindunganMu. Beri kami kekuatan untuk beribadah dan selalu ingat padaMu dimanapun kami berada. Ampuni dan hapuskan semua dosa dan kesalahan kami dihari itu.
Jangan Kau jadikan kami dalam keadaan tersia sia dan dikelilingi oleh orang orang yang benci dan tidak peduli dengan kami.Jangan Kau jadikan kami termasuk orang yang lalai dan berpaling dari mengingatiMu.  Perkenankanlah permohonan kami ini ya Allah. “
 Dengan mentadabburi ayat tersebut diatas diharapkan kelak jika datang usia lanjut ketika badan sudah lemah tidak berdaya, kita selalu berada dalam naungan kasih sayang Allah. Terpelihara dari keadaan terlunta lunta atau tersia sia. Kita selalu dikelilingi oleh orang yang sayang dan mengasihi kita, yang selalu siap memenuhi apa yang kita butuhkan. 
Insya Allah dengan mentadabburi ayat ini dijauhkan dari penderitaan dan berbagai kesulitan dihari tua.

2.     AL JUMU’AH 8
 http://www.fadhilza.com/wp-content/uploads/2013/04/jumuah-8.png
8. Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”  (Al Jumu’ah   8  )

Dalam ayat ini Allah mengingatkan bahwa kematian yang kita lari daripadanya pasti akan menemui kita dimanapun kita berada. Kemudian kita akan dikembalikan pada Allah yang mengetahui hal yang ghaib dan nyata., dan Allah akan mengabarkan pada kita apa saja yang sudah kita kerjakan selama hidup didunia ini
Jika datang saat ajal yang sudah ditetapkan tidak seorangpun dapat menghindar dari kematian itu, dia dapat menyergap kita dimanapun kita berada. Tidak ada satu kekuatanpun yang bisa menghalangi keadatangannya. Kematian itu bisa datang secara tiba tiba tanpa bisa kita duga sebelumnya, seperti yang dialami oleh penumpang pesawat Sukhoi yang mengalami kecelakaan digunung salak, korban bom Bali,Mariot  dan lain sebagainya. Beberapa saat sebelum terjadi kecelakaan mereka tidak pernah punya firasat sedikitpun bahwa beberapa saat lagi kematian akan datang menyergap mereka.
Ada orang yang menemui ajalnya setelah sakit berbulan bulan, ada yang mengalami koma dahulu, ada yang mengalami sakrataul mau dengan penuh kesakitan dan amat menderita, ada pula yang meninggal ketika sedang shalat, sedang tidur, atau ketika sedang berkumpul ditengah keluarga. Ada yang meninggalkan dunia ini dengan tersenyum penuh kebahagiaan ada pula yang melepaskan nyawanya menjerit histeris menahan sakit yang amat sangat.
Kematian bukanlah akhir segala galanya , justru kematian itu adalah awal perjalanan panjang yang tiada akhir, sudahkah anda siap untuk memulai perjalanan itu ? Sudahkah anda mempersiapkan perbekalan untuk menempuh perjalanan panjang sesudah kematian? . Banyak orang yang tidak siap menghadapi datangnya kematian. Mereka terlalu asik dengan berbagai kesibukan dunia, sehingga lupa mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan akhirat yang kekal dan abadi.
Untuk mempersiapkan diri menghadapi datangnya saat kematian itu, dengarkan ayat diatas dengan baik , hayati dan pahami maknanya. Kemudian tadabburi ayat tersebut sebagai berikut:
“ Ya Allah telah Kau ingatkan pada kami dalam Qur’anMu yang Agung bahwa kematian yang kami lari daripadanya pasti akan menemui kami dimanapun kami berada, kemudian kami akan dikembalikan kepadaMu yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Dan Engkau akan mengabarkan kepada kami apa saja yang sudah kami lakukan selama ini.
Ya Allah jika datang saat yang Kau janjikan itu, kami mohon padaMu , wafatkan kami dalam khusnul khotimah , mudahkan kami menempuh sakratul maut, jadikan kami ikhlas dan ridho menhinggalkan kehidupan dunia ini, sambut kami dengan sambutan penghormatan dariMu dan para MalaikatMu, tempatkan kami pada tempat terhormat disisiMu dialam barzakh. Perkenankanlah permohonan kami ini ya Allah, Engkaulah sebaik baik yang memperkenankan doa.
Dengan membaca doa tabdabbur ini diharapkan kita akan mendapatkan 5 hal utama yaitu
§  Diwafatkan dalam khusnul khotimah
§  Dimudahkan ketika melalui saat skaratul maut, terhindar dari  penderitaan  dan sakit yang amat sangat ketika saat sakratul maut.
§  Dijadikan ikhlas dan ridho meninggalkan kehidupan dunia, sehingga bisa meninggalkan dunia ini dengan tersenyum dan tanpa beban apapun.
§  Mendapat sambutan penghormatan dari Allah dan para Malaikat yang datang dari segala penjuru bumi disaat meningalkan jasad memasuki alam barzakh.
§  Ditempatkan pada tempat yang mulia dialam barzakh kelak selama menanti datangnya saat hari kebangkitan dihari kiamat dan dilindungi dari azab dan siksa dialam kubur.
Bagi mereka yang sudah berusia lanjut ada baiknya mentadabburi kedua ayat diatas sebagai persiapan menghadapi hari tua dan saat datangnya sakratul maut. Usahakan bisa menghafal ayat tersebut kemudian bacalah dan tadabburi setiap selesai shalat subuh. Mudah mudahan Allah memperkenankan doa yang dipanjatkan pada bacaan tadabbur itu.

BERAPA UMURMU? – SUDAH 50 TAHUN?
“Allah tidak lagi memberi alasan bagi siapa yang telah dipanjangkan umurnya hingga 50 tahun”
(Hadith Riwayat Bukhari)
Al-Khattabi berkata : “Maknanya, orang yang Allah panjangkan umurnya hingga 50 tahun, tidak diterima lagi keuzuran/alasan. kerana usia 50 tahun merupakan usia yang dekat dengan kematian…
Maka inilah kesempatan untuk memperbanyak taubat, beribadah dengan khusyuk, dan bersiap2 bertemu Allah.”
(Tafsir al-Qurthubi)
Fudhail bin Iyadh berkata kepada seseorang yang telah mencapai umur 50 tahun,
*Nasihat Fudhail kepadanya : *”Bererti sudah 50 tahun kamu berjalan menuju Tuhanmu, sekarang hampir sampai… Lakukan yang terbaik pada sisa usia senja-mu, lalu akan diampuni dosa2mu yang lalu. Tapi jika engkau masih berbuat dosa di usia senjamu, kamu pasti dihukum akibat dosa masa lalu dan masa kini sekaligus..!”
Maka para alim ulama memberi nasihat cara menjalani umur yang sudah mencapai 50 tahun :
1. Jangan berlebihan berhias, bersolek, dan berpakaian.
2. Jangan berlebihan makan, minum, dan berbelanja barang yang kurang diperlukan untuk mendukung amal salih.
3. Jangan berkawan dengan orang yang tidak menambah iman, ilmu, dan amal.
4. Jangan gelisah, berkeluh kesah dan kesal dengan kehidupan sehari-hari. Selalu penuhi diri dengan rasa sabar dan bersyukur.
5. Perbanyak doa mengharap keredha-an Allah agar Husnul Khatimah dan dijauhkan dari Su’ul Khatimah.
6. Tambahkan ilmu agama, perbanyak mengingat kematian, dan bersiap menghadapinya.
7. Siapkan wasiat dan lakukan pembahagian harta.
8. Kerapkan menjalin silaturrahim dan merapatkan hubungan yang renggang sebelumnya.
9. Minta maaf dan berbuat baik terhadap pihak yang pernah dizalimi.
10. Tingkatkan amal soleh terutama amal jariah yang dapat terus memberi pahala dan syafa’at setelah kita mati.
11. Maafkan kesalahan orang kepada kita walau seberat apapun kesalahan itu.
12. Bereskan segala hutang yang ada dan jangan buat hutang baru walaupun untuk menolong orang lain.
13. Berhentilah dari semua maksiat !
*mata, berhentilah memandang yang tidak halal bagimu*
*tangan, berhentilah dari meraih yang bukan hak mu*
*mulut, berhentilah makan yang tidak baik dan yang tidak halal bagimu, berhentilah dari ghibah, fitnah, dan berhentilah menyakiti hati orang lain*
*telinga, berhentilah mendengar hal2 haram dan tak bermanfaat*
14. Berbaik sangka lah kepada Allah atas segala sesuatu yang terjadi dan menimpa
15. Penuhi terus hati dan lisan kita dengan istighfar & taubat untuk diri sendiri, orang tua, dan semua orang beriman, di setiap saat, waktu dan keadaan
Semoga bermanfaat bagi kita semua, walaupun Anda belum 50 tahun, kerana…
*KEMATIAN TIDAK MENGENAL UMUR.*
Ada sebagian kaum muslimin yang masih berprinsip, baru akan memperbanyak ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah l setelah senja, setelah pensiun atau purna tugas. Padahal pada usia berapa kita mati, kita tak pernah mengetahuinya.
Orang yang akan melakukan perjalanan jauh pasti akan menyiapkan perbekalan yang cukup. Lihatlah misalnya orang yang hendak menunaikan ibadah haji. Terkadang ia mengumpulkan harta dan perbekalan sekian tahun lamanya, padahal itu berlangsung sebentar, hanya beberapa hari saja. Maka mengapa untuk suatu perjalanan yang tidak pernah ada akhirnya –yakni perjalanan akhirat– kita tidak berbekal diri dengan ketaatan?! Padahal kita yakin bahwa kehidupan dunia hanyalah bagaikan tempat penyeberangan untuk sampai kepada kehidupan yang kekal nan abadi yaitu kehidupan akhirat, di mana manusia terbagi menjadi: ashhabul jannah (penghuni surga) dan ashhabul jahim (penghuni neraka). Itulah hakikat perjalanan manusia di dunia ini. Maka sudah semestinya kita mengisi waktu dan sisa umur yang ada dengan berbekal amal kebaikan untuk menghadapi kehidupan yang panjang.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Hasyr: 18)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Hisablah diri kalian sebelum dihisab, perhatikanlah apa yang sudah kalian simpan dari amal shalih untuk hari kebangkitan serta (yang akan) dipaparkan kepada Rabb kalian.” (Taisir Al-‘Aliyil Qadir, 4/339)

Umur Bukan Pemberian Cuma-Cuma
Waktu adalah sesuatu yang terpenting untuk diperhatikan. Jika ia berlalu tak akan mungkin kembali. Setiap hari dari waktu kita berlalu, berarti ajal semakin dekat. Umur merupakan nikmat yang seseorang akan ditanya tentangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمُرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلَاهُ، وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ، وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ
“Tidak akan bergeser kaki manusia di hari kiamat dari sisi Rabbnya sehingga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya dalam apa ia gunakan, tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan, tentang hartanya darimana ia peroleh dan dalam apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan dari yang ia ketahui (ilmu).” (HR. At-Tirmidzi dari jalan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Lihat Ash-Shahihah, no. 946)

Jangan Menunda-nunda Beramal
Mungkin kita sering mendengar orang mengatakan: “Mumpung masih muda kita puas-puaskan berbuat maksiat, gampang kalau sudah tua kita sadar.” Sungguh betapa kejinya ucapan ini. Apakah dia tahu kalau umurnya akan panjang? Kalau seandainya dia ditakdirkan panjang, apa ada jaminan dia akan sadar? Atau justru akan bertambah kesesatannya?! Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Sesung-guhnya angan-angan adalah modal utama orang-orang yang bangkrut.” (Ma’alim Fi Thariqi Thalabil ‘Ilmi hal. 32)
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata:
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْـمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لـِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لـِمَوْتِكَ
“Apabila engkau berada di waktu sore janganlah menunggu (menunda beramal) di waktu pagi. Dan jika berada di waktu pagi, janganlah menunda (beramal) di waktu sore. Gunakanlah masa sehatmu untuk masa sakitmu dan kesempatan hidupmu untuk saat kematianmu.” (HR. Al-Bukhari no. 6416)

Selagi kesempatan masih diberikan, jangan menunda-nunda lagi. Akankah seseorang menunda hingga apabila ajal menjemput, betis bertaut dengan betis, sementara lisanpun telah kaku dan tubuh tidak bisa lagi digerakkan? Dan ia pun menyesali umur yang telah dilalui tanpa bekal untuk suatu kehidupan yang panjang?! Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menjelaskan penyesalan orang-orang kafir ketika datang kematian:
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Rabbku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan. ’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja.” (al-Mu`minun: 99-100)

Menyia-nyiakan Kesempatan
Banyak orang yang melewati hari-harinya dengan hura-hura, berfoya-foya, dan perbuatan sia-sia. Bahkan tidak jarang dari mereka yang tenggelam dalam dosa. Tidaklah mereka melakukan ketaatan sebagai bekal di hari kemudian dan tidak pula mengisi dengan kegiatan positif yang bermanfaat bagi kehidupannya di dunia. Seolah keadaannya mengatakan bahwa hidup hanyalah di dunia ini saja. Tiada yang terbayang di benaknya kecuali terpenuhi syahwat dan nafsunya. Orang yang seperti ini tidak jauh dari binatang bahkan lebih jelek keadaannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“(Ada) dua nikmat yang kebanyakan orang tertipu padanya, (yaitu nikmat) sehat dan senggang.” (HR. Al-Bukhari dan At-Tirmidzi, lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2304)

Sesungguhnya Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan untuk serius dalam memanfaatkan kesempatan sebelum datangnya penghalang. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada seseorang dengan menasihatinya:
اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَشَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa hidupmu sebelum matimu, masa sehatmu sebelum sakitmu, masa senggangmu sebelum masa sibukmu, masa mudamu sebelum tuamu, dan masa kaya/kecukupanmu sebelum fakirmu.” (HR. Al-Hakim dan selainnya. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 1077)
Al-Munawi rahimahullah berkata: “Lakukanlah lima perkara sebelum mendapatkan lima perkara. “Hidupmu sebelum matimu” yakni pergunakan (hidupmu pada) apa yang akan memberi manfaat setelah matimu, karena orang yang mati telah terputus amalannya, pupus harapannya, datang penyesalannya serta beruntun kesedihannya. Maka gadaikanlah dirimu untuk kebaikanmu. “Dan masa sehatmu sebelum sakitmu” yakni gunakan masa sehat untuk beramal, karena terkadang datang penghalang seperti sakit sehingga kamu mendatangi akhirat tanpa bekal. “Dan masa senggangmu sebelum masa sibukmu” yakni manfaatkan (kesempatan) senggangmu di dunia ini sebelum tersibukkan dengan kedahsyatan hari kiamat yang awal persinggahannya adalah kubur. Manfaatkanlah kesempatan yang diberikan, semoga kamu selamat dari adzab dan kehinaan. “Dan masa mudamu sebelum tuamu”, yakni lakukan ketaatan di saat kamu mampu sebelum kelemahan usia lanjut menghinggapimu, sehingga kamu akan menyesali apa yang telah kamu sia-siakan dari kewajiban terhadap Allah subhanahu wa ta’ala. “Dan masa kayamu sebelum fakirmu” yakni manfaatkan untuk bersedekah dengan kelebihan hartamu sebelum dipaparkan kepada musibah yang menjadikanmu fakir, (jika demikian) kamu akan fakir di dunia dan akhirat. Kelima hal ini tidak diketahui kadar besarnya kecuali setelah tidak ada.” (Faidhul Qadir, 2/21)

Telah Datang Peringatan
Terkadang telah datang kepada seseorang peringatan dari tubuhnya sendiri. Suatu hal yang menjadi cambuk supaya menyadari akan keadaannya. Sungguh uban yang meliputi kepala, kulit yang mulai keriput dan kekuatan yang mulai melemah merupakan peringatan bahwa ajal telah dekat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan apakah kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (Fathir: 37)

Sebagian ahli tafsir menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas: “Dan telah datang kepada kamu peringatan” yakni: uban.
Demikian pula jika Allah subhanahu wa ta’ala telah memberi umur kepada seseorang hingga 60 tahun, berarti Allah subhanahu wa ta’ala tidak meninggalkan lagi sebab untuk seorang memiliki alasan. Kesempatan telah Allah subhanahu wa ta’ala berikan dan umur telah dipanjangkan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَعْذَرَ اللهُ إِلَى امْرِئٍ أُخِّرَ أَجَلُهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّيْنَ سَنَةً
“Allah telah menyampaikan puncak dalam pemberian udzur/alasan kepada seorang yang diakhirkan ajalnya hingga mencapai umur 60 tahun.” (HR. Al-Bukhari no. 6419)
Maksud dari hadits ini adalah bahwa tidak lagi tersisa alasan baginya, seperti dengan mengatakan: “Kalau dipanjangkan ajalku, niscaya aku akan melakukan apa yang aku diperintah dengannya.” Dijadikannya umur 60 tahun sebagai batas udzur seseorang, karena itu adalah umur yang mendekati ajal dan umur (yang seharusnya) seorang itu kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala, khusyu’ dan mewaspadai datangnya kematian. Seorang yang berumur lebih dari 60 tahun hendaklah menekuni amalan-amalan akhirat secara total, karena sudah tidak mungkin lagi akan kembali kepada keadaannya yang pertama ketika masih kuat dan semangat. (Lihat Fathul Bari, 11/240)

Umur Umat Ini
Allah subhanahu wa ta’ala telah menakdirkan bahwa umur umat ini tidak sepanjang umur umat terdahulu. Yang demikian mengandung hikmah yang terkadang tidak diketahui oleh hamba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
أَعْمَارُ أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ
“Umur-umur umatku antara 60 hingga 70, dan sedikit dari mereka yang melebihi itu.” (Dihasankan sanadnya oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari, 11/240)
Maksud dari hadits ini adalah bahwa keumuman ajal umat ini antara umur 60 hingga 70 tahun, dengan bukti keadaan yang bisa disaksikan. Di mana di antara umat ini ada yang (mati) sebelum mencapai umur 60 tahun. Ini termasuk dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala dan kasih sayang-Nya supaya umat ini tidak terlibat dengan kehidupan dunia kecuali sebentar. Karena umur, badan dan rizki umat-umat terdahulu lebih besar sekian kali lipat dibandingkan umat ini. Dahulu ada yang diberi umur hingga seribu tahun, panjang tubuhnya mencapai lebih dari 80 hasta atau kurang. Satu biji gandum besarnya seperti pinggang sapi. Satu delima diangkat oleh sepuluh orang. Mereka mengambil dari kehidupan dunia sesuai dengan jasad dan umur mereka, sehingga mereka sombong dan berpaling dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dan manusia pun terus mengalami penurunan bentuk fisik, rizki, dan ajal. Sehingga menjadilah umat ini sebagai yang terakhir, yang mengambil rizki sedikit, dengan badan yang lemah dan pada masa yang pendek, supaya mereka tidak menyombongkan diri. Ini termasuk dari kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala terhadap mereka. Demikian makna ucapan Al-Imam Ath-Thibi rahimahullah seperti dalam Faidhul Qadir Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir (2/15).

Orang yang Paling Baik
Manusia terbaik adalah yang mengisi waktu-waktunya dengan amalan yang mengantarkan kepada kebaikan dunia dan akhiratnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ، وَشَرُّ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ
“Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalannya. Dan sejelek-jelek manusia adalah orang yang panjang umurnya dan jelek amalannya.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, lihat Shahih Al-Jami’ no. 3297)
Orang yang banyak kebaikannya, setiap kali dipanjangkan umurnya maka akan banyak pahalanya dan dilipatgandakan derajatnya. Maka bertambahnya umur akan bertambah pula pahala dan amalannya.
Dahulu ada dua orang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sama-sama masuk Islam. Salah satunya lebih semangat beramal dibandingkan temannya. Orang yang lebih semangat itu ikut dalam pertempuran dan terbunuh. Temannya yang satu masih hidup setahun setelahnya, lalu meninggal di atas ranjangnya. Maka ada seorang sahabat bernama Thalhah bin ‘Ubaidillah radhiallahu ‘anhu bermimpi tentang dua orang tersebut. Dalam mimpinya, keduanya ada di pintu surga. Lalu orang yang matinya di atas ranjangnya dipersilakan untuk masuk surga terlebih dahulu. Setelah itu temannya yang terbunuh dipersilakan masuk. Paginya, Thalhah bercerita kepada orang-orang dan mereka takjub (heran) dengannya. Berita mimpi Thalhah dan takjubnya manusia pun sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Bukankah (orang yang mati di ranjangnya) ia masih hidup setahun setelah (kematian temannya yang terbunuh di jalan Allah) itu?” Sahabat menjawab: “Benar.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: “Dan ia mendapati bulan Ramadhan lalu ia puasa dan shalat sekian dan sekian dalam setahun?” Sahabat menjawab: “Benar.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jarak (derajat) antara keduanya lebih jauh daripada jarak antara langit dan bumi.” (Lihat Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3185)

Karena mahalnya umur seorang mukmin, maka dahulu ada seorang salaf mengatakan: “Sungguh, satu jam kamu hidup padanya yang kamu beristighfar kepada Allah subhanahu wa ta’ala lebih baik daripada kamu mati selama setahun.”
Dan dahulu ada seorang salaf yang sudah tua ditanya: “Apakah kamu ingin mati?” Jawabnya: “Tidak. Karena masa muda dan kejahatannya telah berlalu, dan kini datang masa tua bersama kebaikannya. Jika aku berdiri aku mengucapkan bismillah, jika aku duduk aku mengucapkan alhamdulillah. Aku ingin untuk terus dalam keadaan seperti ini.”

Dan ada (pula) seorang salaf lain yang sudah tua ditanya: “Apa yang masih tersisa dari keinginanmu dalam kehidupan ini?” Ia menjawab: “Menangisi dosa-dosa yang telah aku lakukan.”

Oleh karena itu, banyak dari salaf kita yang menangis ketika mau meninggal. Bukan karena berpisah dengan kenikmatan dunia, namun karena terputus dari amalan-amalan yang biasa dia lakukan berupa shalat malam, puasa, tilawatul Qur`an dan lainnya. Hal ini seperti yang dialami oleh Yazid bin Aban Ar-Raqqasyi rahimahullah. (Lihat syarah hadits Allahumma bi’ilmika al-ghaib –karya Ibnu Rajab rahimahullah hal. 25-26)

Larangan Meminta Kematian
Tidak seyogianya seseorang meminta kematian tanpa ada sebab yang dibenarkan. Di antara sebab yang dibenarkan adalah ketika seorang yakin jika agamanya akan terfitnah dan adanya indikasi yang kuat bahwa cobaan yang dihadapinya akan menjadikannya menyimpang dari agama Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam kondisi seperti ini, perut bumi lebih baik daripada atasnya. Namun orang yang tidak memiliki alasan yang dibenarkan, seperti seseorang yang ditimpa penyakit dan sudah berobat tapi tidak kunjung sembuh atau dililit hutang dan semisalnya, meminta mati dalam keadaan yang seperti ini dilarang.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْـمَوْتَ لِضُرٍّ أَصَابَهُ فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْـحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي
“Janganlah salah seorang dari kalian menginginkan kematian karena penderitaan yang menimpanya. Jika mau tidak mau harus berbuat hendaklah ia mengucapkan: ‘Wahai Allah, hidupkanlah aku jika memang hidup lebih baik bagiku. Dan wafatkanlah aku jika kematian lebih baik bagiku.” (HR. Al-Bukhari no. 5671)

Seorang mukmin selalu meminta yang terbaik kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Karena seseorang tidak tahu apakah setelah kematian kondisinya lebih baik atau bahkan sebaliknya. Dengan kematian, seseorang sudah terputus dari beramal dan tidak ada lagi kesempatan untuk bertaubat dan menyesali kesalahan.

Adalah Habib bin ‘Isa Al-Farisi rahimahullah gusar ketika kematian hendak menjemputnya. Ia mengatakan: “Sungguh aku akan pergi dengan perjalanan yang belum pernah sejauh itu. Aku akan menelusuri jalan yang belum pernah sama sekali aku menelusurinya. Aku akan berkunjung menuju kekasihku (Allah subhanahu wa ta’ala) yang belum pernah sama sekali aku melihat-Nya. Dan aku akan melihat kedahsyatan yang belum pernah aku saksikan yang seperti itu.” (Syarah hadits Allahumma bi’ilmika al-ghaib- Ibnu Rajab rahimahullah hal. 32 dan lihat kisahnya pada Hilyatul Aulia`, 6/149-155)

Memohon Dipanjangkan Umur
Panjangnya umur bukan jaminan seorang selamat dari adzab. Lihatlah bagaimana orang Yahudi sangat berambisi untuk diberi umur panjang. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa.” (al-Baqarah: 96)

Adapun seorang mukmin tidaklah bertambah umur kecuali bertambah kebaikan. Oleh karena itu, boleh bagi seseorang untuk mendoakan panjangnya umur. Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendoakan sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu:
اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَأَطِلْ حَيَاتَهُ وَاغْفِرْ لَهُ
“Wahai Allah perbanyaklah hartanya, anaknya dan panjanglah hidupnya (umurnya) serta ampuni baginya.” (Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 508)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini, (ada faedah) bolehnya mendoakan panjangnya umur bagi seseorang.” (Syarah Shahih Al-Adab Al-Mufrad, 2/311)
Namun seyogianya doa meminta panjang umur dibarengi dengan permohonan kebaikan dengan panjangnya umur itu. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Tidak sepantasnya seseorang mengucapkan (selamat) panjang umur, karena panjangnya umur terkadang baik dan terkadang jelek. Orang yang jelek adalah yang panjang umurnya namun jelek amalannya. Berdasarkan hal tadi maka tidak mengapa kalau mendoakan: ‘Semoga Allah subhanahu wa ta’ala panjangkan hidupmu di atas ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala’ dan yang semisalnya.” (Al-Manahi Al-Lafzhiyyah hal. 89)
Para Salaf dalam Melaksanakan Ketaatan dan Menjaga Waktu
Orang yang membuka lembaran kehidupan generasi awal umat ini dalam memanfaatkan umur yang ada akan menganggapnya aneh. Seolah itu adalah dongeng yang tidak ada kenyataannya. Perasaan aneh ini bisa muncul karena sangat jauhnya kita dengan generasi awal umat ini dalam menyikapi hidup dan kehidupan. Mereka adalah generasi yang lebih mementingkan akhirat daripada dunia. Mereka rela berkorban dengan harta, raga dan bahkan nyawa untuk meninggikan agama Allah subhanahu wa ta’ala. Suatu generasi yang keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala adalah tujuan dan harapannya, meski harus dimurkai manusia.
Maka, mencermati kehidupan ulama dalam menjaga waktu adalah suatu hal yang mestinya diketahui. Karena dengan mengetahui kisah mereka, semangat akan tumbuh dan kemalasan akan terkikis. Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan kondisi hamba-hamba-Nya yang mendapatkan kemuliaan dengan firman-Nya:
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka beristighfar (memohon ampun kepada Allah).” (adz-Dzariyat: 17-18)
Lihatlah bagaimana mereka melewati malam-malam yang indah dengan bergadang untuk melakukan berbagai ketaatan di saat umumnya manusia terlelap dalam tidurnya. Namun sudah seperti itu keadaannya, mereka selalu meminta ampun karena masih banyaknya kekurangan dan kesalahan. Demikianlah orang yang baik, menggabungkan antara semangat beramal dengan perasaan takut akan adzab Allah subhanahu wa ta’ala. Demikian pula Ibrahim dan Isma’il e tatkala selesai membangun Ka’bah, rumah Allah subhanahu wa ta’ala yang termulia, di tempat yang paling mulia yaitu Makkah. Keduanya berdoa:
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا
“Wahai Allah, terimalah dari kami.” (al-Baqarah: 127)
Berbeda dengan orang yang jelek, mereka menggabungkan antara jeleknya perbuatan dan sikap merasa aman dari adzab Allah subhanahu wa ta’ala.
Inilah sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, ketika Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu memberitahukannya tentang hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang menshalati jenazah akan mendapatkan satu qirath (pahala yang besar) dan barangsiapa yang mengantarnya hingga dikubur akan mendapatkan dua qirath. Abdullah belum pernah mendengar hadits itu, lalu ia mengutus seseorang untuk bertanya kepada ‘Aisyah. Utusan tadi bertanya kepada ‘Aisyah, dan ia menjawab: “Benar apa yang dikatakan Abu Hurairah.” Ketika utusan tadi telah pulang dan mengabarkannya, Abdullah mengatakan dengan ucapan penyesalan: “Sungguh kita telah menyia-nyiakan qirath yang banyak.” (Lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1040, cet. Al-Ma’arif)
Demikianlah, Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma sangat menyesal karena telah terlewatkan kesempatan untuk mendapatkan pahala besar. Namun, pernahkah kita menyesali kesempatan emas yang terlewat tanpa kita manfaatkan? Paling yang kita sesali adalah gemerlapnya dunia yang luput kita dapatkan. Sungguh waktu seseorang adalah modal hidupnya.
Dahulu bila seorang ahli hadits mendiktekan hadits kepada murid-muridnya dan ia berhenti sejenak untuk memberi kesempatan muridnya untuk menulis, ia manfaatkan waktu yang sejenak itu untuk beristighfar dan bertasbih.
Dahulu ada yang menyebutkan tentang Al-Imam Abdullah bin Al-Imam Ahmad rahimahullah: “Tidaklah aku melihatnya kecuali tersenyum atau sedang membaca atau menelaah.”
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan biografi Abdul Wahhab bin Al-Wahhab bin Al-Amin rahimahullah bahwa waktunya sangat terjaga. Tidaklah berlalu suatu saat kecuali ia sedang membaca, berdzikir, tahajjud, atau setor hafalan. (Lihat Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi karya Abdul Aziz As-Sadhan, hal. 33-37)

Berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari Ketuaan/ Kepikunan
Semakin lanjut usia seseorang, semakin berkurang kekuatannya dan melemah fisiknya hingga kembali kepada keadaan yang serupa dengan anak kecil dalam hal lemahnya tubuh, sedikit akalnya, dan tidak adanya pengetahuan. Demikian pula munculnya pemandangan yang tidak bagus serta tidak mampu melakukan banyak ketaatan. Cukuplah seseorang berlindung dari kepikunan karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menamakannya dengan umur yang paling rendah/hina dan menjadi tidak tahu apa-apa yang sebelumnya ia tahu. Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ
“Wahai Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, pengecut, dan kepikunan.” (HR. Al-Bukhari no. 6367)

Orangtua Berjiwa Muda
Ketahuilah bahwa selagi manusia masih ada harapan hidup maka tidak akan terputus harapannya untuk mendapatkan dunia. Bahkan terkadang dirinya tidak mau mencabut diri dari kelezatan dan syahwat yang maksiat. Setan pun selalu membisikkan untuk mengakhirkan taubat hingga akhir umurnya. Sehingga bila ia telah yakin akan mati dan tidak ada harapan lagi untuk hidup, barulah ia sadar dari mabuknya akan syahwat dunia. Ia pun menyesali penyia-nyiaan umurnya dengan penyesalan yang hampir membunuh dirinya. Ia meminta dikembalikan ke dunia untuk bertaubat dan beramal shalih. Namun permintaannya tidak digubris, sehingga berkumpullah padanya sakaratul maut dan penyesalan atas sesuatu yang telah lewat.
Allah subhanahu wa ta’ala telah memperingatkan hamba-Nya akan hal ini, supaya mereka bersiap-siap menghadapi kematian dengan bertaubat dan beramal shalih sebelum datangnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ. وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ. أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللهِ وَإِنْ كُنْتُ لَـمِنَ السَّاخِرِينَ
“Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya, supaya jangan ada orang yang mengatakan: ‘Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah’.” (az-Zumar: 54-56) [Lihat Latha`iful Ma’arif, Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah hal. 449-450]
‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata: “Dunia pergi membelakangi, sedangkan akhirat datang menyambut, dan bagi masing-masingnya ada anak-anak (pecinta)nya. Maka jadilah kalian termasuk ahli akhirat dan jangan menjadi ahli dunia. Hari ini (kehidupan dunia) adalah tempat beramal bukan hisab, dan besok (kiamat) hanya ada hisab, tidak ada amal.” (Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitab Ar-Riqaq Bab Fil Amal Wa Thulihi)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَزَالُ قَلْبُ الْكَبِيْرِ شَابًّا فِي اثْنَتَيْنِ: فِي حُبِّ الدُّنْيَا وَطُولِ الْأَمَلِ
“Orang yang sudah tua senantiasa berhati muda pada dua perkara: dalam cinta dunia dan panjangnya angan-angan (yakni panjangnya umur).” (HR. Al-Bukhari no. 6420)


Manusia melewati tiga masa dalam hidupnya. Satu masa kekuatan yang diapit oleh dua masa kelemahan. Masa kekuatan itu adalah masa remaja yang diapit oleh masa kecil dan masa tua yang penuh kelemahan. Allah swt berfirman,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفاً وَشَيْبَةً
“Allah-lah yang Menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia Menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia Menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban.” (QS.ar-Rum:54)
Namun kali ini kita akan fokus kepada masa tua. Dalam ayat lain Allah menyebut “masa tua” dengan istilah yang menarik dan penuh makna. Allah berfirman,
وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِن بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئاً
Dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua, sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya.” (QS.al-Hajj:5)
Masa tua dalam ayat ini disebut (أَرْذَلِ الْعُمُرِ) yang memiliki arti “masa yang tidak bernilai”. Mengapa disebut tidak bernilai?
Kita akan temukan jawabannya pada penggalan ayat selanjutnya yaitu, “sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya.”
Ya, usia tua disebut dengan “masa yang tidak bernilai” karena disaat itu sebagian manusia mengalami pikun atau lupa dengan sesuatu yang penah ia ketahui. Karena hilangnya pengetahuan itulah maka masa ini tidak berarti dan tak memiliki nilai.
Tapi hal ini tidak berlaku untuk semua orang yang berada pada usia tua. Karena orang-orang usia lanjut yang masih aktif dan senantiasa melakukan kebaikan umurnya masih sangat bernilai. Bahkan mereka tergolong ke dalam sabda nabi Muhammad saw,
خَيْرُكُمْ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَ حَسُنَ عَمَلُهُ
“Sebaik-baik kalian adalah yang umurnya panjang dan amalnya baik.”
Maka dapat kita simpulkan bahwa nilai umur manusia bergantung kepada pengetahuan yang ia miliki. Tanpa pengetahuan maka kehidupannya tak bernilai sama sekali. Karena itulah masa terbaik manusia adalah masa yang selalu bergandengan dengan ilmu dan pengetahuan.
Sayyidina Ali bin Abi tholib as berkata,
اَلْجَهْلُ فِي الْإِنْسَانِ أَضَرُّ مِنَ الْأَكِلَةِ فِي الْأَبْدَانِ
“Kebodohan pada diri manusia itu lebih berbahaya dari (makanan yang membawa penyakit) didalam badan.”
Mari kita hiasi kehidupan kita dengan menambah ilmu dan pengetahuan karena keduanya adalah kekayaan manusia yang paling berharga.

Misteri Usia 60 Tahun

Benarkah manusia diberi uzur sampai usia 60 tahun? Lalu uzur yang dimaksud itu seperti apa?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Pada hari kiamat kelak, penghuni neraka meminta kepada Allah agar mereka dikeluarkan dari neraka dan dikembalikan ke dunia agar bisa beramal baik, tidak seperti amal kekufuranya yang dulu. Allah berfirman,
وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ
Mereka berteriak di dalam neraka itu: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal saleh tidak seperti amalan yang telah kami kerjakan (kekufuran).”
Allah menjawab permintaan mereka dengan berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا
Bukankah Aku telah memanjangkan usia kalian dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu an-Nadzir (pemberi peringatan)? maka rasakanlah. (QS. Fathir: 37).
Ayat ini menjelaskan bahwa usia yang Allah berikan kepada umat manusia menjadi hujjah dan alasan Allah untuk mengadili manusia, disamping adanya an-Nadzir yang datang kepada kita.
Ulama berbeda pendapat tentang makna an-Nadzir dalam ayat di atas. Diantaranya,
1.      Uban di rambut. Ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Ikrimah dan Sufyan bin Uyaiah
2.      an-Nadzir (Sang Pemberi Peringatan) adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini merupakan pendapat Qatadah, Ibn Zaid, dan Ibn Saib.
(Zadul Masir, 5/182)
Sehingga di sana ada dua peringatan yang Allah berikan, yang menjadi alasan Allah menuntut manusia, usia dan para utusan.

Peringatan Bagi Yang Berusia 60 Tahun

Dalam hadis shahih, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْذَرَ اللَّهُ إِلَى امْرِئٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً
Allah memberi udzur kepada seseorang yang Dia akhirkan ajalnya, hingga sampai usia 60 tahun. (HR. Bukhari 6419).
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,
وَالْمَعْنَى أَنَّهُ لَمْ يَبْقَ لَهُ اعْتِذَارٌ كَأَنْ يَقُولَ لَوْ مُدَّ لِي فِي الْأَجَلِ لَفَعَلْتُ مَا أُمِرْتُ بِهِ ….
وَإِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ عُذْرٌ فِي تَرْكِ الطَّاعَةِ مَعَ تَمَكُّنِهِ مِنْهَا بِالْعُمُرِ الَّذِي حَصَلَ لَهُ فَلَا يَنْبَغِي لَهُ حِينَئِذٍ إِلَّا الِاسْتِغْفَارُ وَالطَّاعَةُ وَالْإِقْبَالُ عَلَى الْآخِرَةِ بِالْكُلِّيَّةِ
Makna hadis bahwa udzur dan alasan sudah tidak ada, misalnya ada orang mengatakan, “Andai usiaku dipanjangkan, aku akan melakukan apa yang diperintahkan kepadaku.”
Ketika dia tidak memiliki udzur untuk meninggalkan ketaatan, sementara sangat memungkinkan baginya untuk melakukannya, dengan usia yang dia miliki, maka ketika itu tidak ada yang layak untuk dia lakukan selain istighfar, ibadah ketaatan, dan konsentrasi penuh untuk akhirat. (Fathul Bari, 11/240).

Muda Boleh Seenaknya

Hadis di atas tidak bisa kita pahami sebaliknya, bahwa orang yang usianya di bawah 60 tahun, berarti dibolehkan untuk menunda ketaatan dan taubat. Maksud hadis, mereka yang telah mencapai usia 60 tahun, seharusnya lebih banyak konsentrasinya diarahkan  untuk akhirat, dan mulai mengurangi kesibukan dunia.
Al-Maghamisi mengatakan,
ولا يعني ذلك أبداً أن من دون الستين لهم الحجة على الله، فليس لأحد حجة على الله بعد إرسال الرسل، وإنزال الكتب؛ لكن المقصود من الحديث حث من بلغ هذا السن من الناس أن يتقي الله جل وعلا فيما بقي من عمره
Bukan maksud hadis bahwa orang yang usianya di bawah 60 tahun, berarti dia punya alasan di hadapan Allah. Karena semua orang tidak memiliki alasan di hadapan Allah (untuk melanggar) setelah Allah mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan kitab. Namun maksud hadis, motivasi bagi manusia yang telah mencapai usia ini untuk semakin bertaqwa kepada Allah di sisa usianya. (Syarh kitab ar-Raqaiq min Shahih Bukhari).

Nasehat Imam Fudhail bin Iyadh

Dikisahkan dalam kitab al-Hilyah, bahwa Imam Fudhail bin Iyadh – ulama besar di masa Tabi’ Tabiin – (w. 187 H) bernah bertemu dengan seorang yang sudah tua.
“Berapa usia anda?”, tanya Fudhail.
“60 tahun.”, Jawab orang itu.
“Anda selama 60 tahun berjalan menuju Tuhan anda, dan sebentar lagi anda akan sampai.” Komentar Fudhail
Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi raji’un.” Orang itu keheranan.
“Anda paham makna kalimat itu? Anda paham tafsirnya?” tanya Fudhail.
“Tolong jelaskan tafsirnya?” Orang itu balik tanya.
“Anda menyatakan: innaa lillaah (kita milik Allah), artinya kita adalah hamba Allah dan kita akan kembali kepada Allah. Siapa yang yakin bahwa dia hamba Allah dan dia akan kembali kepada-Nya, seharusnya dia menyadari bahwa dirinya akan berdiri di hadapan Allah. Dan siapa yang meyakini hal ini, dia harus sadar bahwa dia akan ditanya. Dan siapa yang yakin hal ini, dia harus menyiapkan jawabannya.” Jelas Fudhail.
“Lalu bagaimana jalan keluarnya?” tanya orang itu.
“Caranya mudah.” Tegas Fudhail.
Kemudia Imam Fudhail menyebutkan sebuah teori bertaubat, yang layak dicatat dengan tinta emas,
تُحْسِنُ فِيمَا بَقِيَ يُغْفَرُ لَكَ مَا مَضَى وَمَا بَقِيَ , فَإِنَّكَ إِنْ أَسَأْتَ فِيمَا بَقِيَ أُخِذْتَ بِمَا مَضَى وَمَا بَقِيَ
Berbuat baiklah di sisa usiamu, dengan itu akan diampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. Karena jika kamu masih rajin bermaksiat di sisa usiamu maka kamu akan dihukum karena dosamu yang telah lalu dan dosamu yang akan datang. (Hilyah Al Awliya’, 8/113).
Tidak ada satupun makhluk yang tahu berapa sisa usianya. Kita tidak tahu kapan maut akan menjemput. Karena itu, apa yang sedang kita alami, itulah sisa usia kita yang sejatinya.
Allahu a’lam
Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga!” Tiga frase yang dahsyat sekali jika kita bisa melaluinya. Kalau tidak salah, saya pertama kali membaca kalimat ini di kaos Joger Jelek - si pabrik kata-kata di Bali. Kalau boleh saya ubah sedikit redaksinya menjadi, "Muda foya foya, tua kaya raya, mati khusnul khotimah", mungkin akan lebih enak didengar. Saya pernah bertanya pada seorang ustadz – “Ada nggak ya pak ustadz manusia yang sekti seperti yang digambarkan tiga frase tersebut, "Muda foya foya, tua kaya raya, mati khusnul khotimah" ?” Kata pak ustadz tidak mungkin, akhir hidup seorang hamba Allah itu mencerminkan kehidupannya selama didunia. Artinya jika hidup didunia penuh foya-foya, jauh dari ibadah, jauh dari Allah, pasti matinya nggak jauh beda sama kehidupan yang dilaluinya, yaitu jauh dari Allah, jauh dari khusnul khotimah. Tapi jika hidupnya penuh dengan ibadah kepada Allah maka Insyaallah akhir hayatnya pun akan selalu dalam rahmat dan lindungan Allah. (Oh, gitu yah....) ---------- Almarhum Prof. Mr Kasman Singodimejo, pernah berkata: “Dalam Islam itu yang penting matinya khusnul khatimah. Hidupnya sebelumnya bejat, nggak jadi soal. Yang penting matinya khusnul khatimah. Tapi masalahnya, tahukah saudara, kapan saudara akan mati?". Yup bener juga, kita nggak tahu kapan kita mati. Tapi saya masih penasaran dengan 3 frase tersebut, masa nggak ada sih disekian juta manusia – Allah menunjukkan kebesarannya ke satu-dua manusia pilihan yang bener-bener merasakan nikmat hidayah Allah di akhir hayatnya? Saya jadi ingat dengan satu nama, Bangun Sugito Tukiman, pria yang lahir di Biak Papua 1 November 1947 – yang kita kenal dengan Gito Rollies. Beliau meninggal pada tanggal 28 Febuari 2008 diusianya yang ke 60. Bangun Sugito Tukiman, adalah salah satu nama dari sekian juta penduduk negeri ini yang terhipnotis oleh musik rock (barat). Figur The Rolling Stones, dengan lead vocal-nya Mick Jagger, menjadi idolanya sejak remaja. Sejak remaja Bangun Sugito tinggal di Bandung, terkenal sangat berandal. Aksi nekatnya tercatat di tahun 1967, yang memembuat kota Bandung gempar, saat itu ketika dirinya yang mendapat cap “Siswa Bengal” ternyata termasuk salah satu siswa yang lulus dari SMA-nya. Maklum Daftar kenakalannya lebih panjang dari daftar absen murid dikelasnya, sehingga ia tak yakin jika namanya akan tertulis di papan pengumuman kelulusan. Kesukacitaan atas kelulusannya dilampiaskan dengan gaya ala rocker, dengan melakukan aksi tanpa busana sambil naik sepeda motor mengelilingi kota kembang (tempointeraktif.com). Saat dia berkibar dengan grup musiknya The Rollies, dia hidup bergelimang harta dan ketenaran, kehidupan mudanya penuh dengan hura-hura. Bahkan pernah dia mengatakan disuatu interview, “Tiap Jumat siang kami berangkat ke daerah Puncak Bogor untuk pesta miras dan narkoba”. Tapi siapa yang menyangka, di tahun 1995, atau tepatnya setelah 10 November 1995, Si Rocker satu ini baru benar-benar berhenti mengkonsumsi drugs dan alkohol, setelah mengalami sebuah peristiwa yang memembuatnya shock lahir batin. Ceritanya, sepulang dari konser Hari Pahlawan di Surabaya, di bawah pengaruh narkoba, Gito Rollies selama tiga hari mengalami ‘fly berat’ akibat ngedrugsnya. Dia tidak bisa makan dan tidak bisa tidur, selama tiga hari itu antara sadar dan tidak sadar dia tersiksa dan dia merasakan semua kelakuannya di masa lalu seperti diputar di depan matanya. “Saya takut sekali,” ujarnya seperti diungkapkan kepada koran Tempo. Perubahan yang terjadi pada sosok Gito Rollies sedemikian dahsyatnya. Dunia hiburan Indonesia, tak percaya - seorang Rocker yang bisa berubah menjadi “ustadz” dan berdakwah kepada teman-teman seprofesinya. Gito Rollies meninggal saat sedang berdakwah. Beliau meninggal akibat penyakit kanker getah bening. Luar biasa, penyakit kanker getah bening yang terus menggerogoti tubuhnya tidak menyurutkan semangat dakwahnya. "Muda foya foya, tua kaya raya, mati khusnul khotimah". Mungkin pas untuk menggambarkan kehidupan seorang Bangun Sugito ini. Aamiin. ------------ Kematian adalah misteri illahi, tidak ada yang tahu kapan kita mati. Lain cerita jika usia kita sudah tua, tanda-tanda kematian kadang sudah diperlihatkan oleh Allah. Sebagian Para Nabi berkata kepada Malaikat pencabut Nyawa. “Tidakkah Kau memberikan Aba-aba atau peringatan kepada Manusia bahwa kau datang sebagai malaikat pencabut nyawa sehingga mereka akan lebih hati-hati?” Malaikat itu menjawab. “Demi Allah, aku sudah memberikan aba-aba dan tanda-tandamu yang sangat banyak berupa penyakit, uban, kurang pendengaran, penglihatan mulai tidak jelas. Semua itu adalah peringatan bahwa sebentar lagi aku akan menjemputnya. Apabila setelah datang aba-aba tadi ia tidak segera bertobat dan tidak mempersiapkan bekal yang cukup, maka aku akan serukan kepadanya ketika aku cabut nyawanya: “Bukan kah aku telah memberimu banyak aba-aba dan peringatan bahwa aku sebentar lagi akan datang? Ketahuilah, aku adalah peringatan terakhir, setelah ini tidak akan datang peringatan lainnya “ (HR imam qurthubi) -------- Diusia kita yang terus berkurang, jika boleh meminta – semoga Allah mematikan kita dengan khusnul khotimah. Menghadapi sakratul maut adalah menghadapi nyeri dan rasa sakit yang sangat luar biasa dahsyatnya. Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002), skala nyeri divisualkan dengan angka dari 0 sampai dengan 10, dimana nilai 0 adalah tidak nyeri, dan nilai 10 adalah nyeri yang amat sangat – yang mana si pasien ini sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, hanya diam tiada berkata bahkan bergerak karena nyerinya – mungkin sakratul maut terletak di angka 1.000.000 ! Wallahua’lam. Saya jadi teringat, ada ayahanda dari seorang teman, yang meninggal di saat sholat, Subhanallah mungkin beliau tidak merasakan nyeri sakratul maut yang kita tidak bisa ukur tingkat nyerinya tadi. Ada kisah tentang sahabat nabi, sahabat Ali bin Abi Thalib, ketika itu beliau terkena anak panah yang menembus tubuhnya. Ketika anak panah tersebut mau dicabut oleh sahabat lainnya, beliau meminta – cabutlah ketika aku sholat. Kemudian Ali mendirikan sholat sunah dengan khusuknya, maka dicabutlah anak panah tersebut. Ketika selesai dari shalatnya, sayyidina Ali bertanya kepada para sahabat, - ”Sudahkan kalian cabut anak panah tersebut?” - Dan para sahabat menjawabnya, “sudah.” Sedemikian shalatnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib, hingga tembusan anak panah pun tidak dirasakan menyakitkan dan bahkan beliau bisa menyelesaikan sholat sunahnya. Indah rasanya mengenang kembali kisah beliau beliau diatas. Hidayah dan rahmat Allah yang diberikan pada manusia manusia pilihanNya. Bulan bonus yang Allah berikan kepada manusia baru saja kita lewati. Satu bulan yang penuh dengan ampunan telah berlalu, seberapa besar keberhasilan kita dalam puasa kemarin, seberapa besar keberhasilan kita meminta ampun kemarin? Kita tidak tahu apakah tahun depan kita masih bisa bertemu dengan bulan Ramadhan ini. Semoga Allah masih memberikan kesempatan kepada kita untuk bertemu Ramadhan tahun depan. Akhir kata, selamat idul fitri, mohon maaf lahir bathin, Taqaballahu minna wa minkum.


Umur tak menjadi alasan seseorang untuk berhenti belajar. Banyak ulama yang mulai mempelajari agama di usia yang sudah tak muda lagi.
tirto.id - Mendengar kabar kematian tetangganya, Ibnu Hazm Al-Andalusy segera menuju masjid. Pakaian laiknya orang akan beribadah segera ia kenakan dan tidak lupa pula mengusapkan sedikit parfum dan wewangian di kedua telapak tangannya. Sesampainya di masjid, kala itu bakda asar, Ibnu Hazm langsung duduk bersimpuh sembari menunggu jenazah datang.

Ia kaget bukan kepalang ketika ada seorang dari arah belakang menegurnya. "Jangan duduk. Berdirilah. Waktunya salah tahiyat masjid."

Ibnu Hazm langsung berdiri dan salat dua rakaat. Jenazah datang dan ritual salat jenazah dimulai. Rampung salat jenazah, Ibnu Hazm berdiri kembali dan melaksanakan dua rakaat salat. Mendapati hal itu, seseorang menegurnya kembali, "Duduklah. Sekarang adalah waktu yang diharamkan untuk salat."

Ibnu Hazm malu bukan kepalang. Hari itu ia merasa menjadi manusia paling bodoh di muka bumi. Pengetahuan agamanya nol besar. Sementara usianya lebih dari seperempat abad. Namun, kejadian memalukan itu tampaknya menjadi cambuk pelecut Ibnu Hazm. Lelaki yang kelak menjadi salah satu penyokong mazhab Ad-Dzahiri ini memulai pengembaraan ilmu di usianya yang tergolong telat.

Jika ulama-ulama besar lain belajar agama sejak kecil, bahkan sejak masih kanak-kanak sudah banyak yang hafal kitab suci, maka tidak demikian yang terjadi pada Ibnu Hazm. Ia telat masuk "sekolah".

Telat belajar bukan berarti otomatis gagal. Ibnu Hazm adalah hujah bahwa usia tidak menjadi penghalang untuk berpeluh dalam belajar. Menurut adz-Dzahabi dalam kitab Siyarul Alam Nubula, terbukti kelak Ibnu Hazm menjadi salah satu ulama prolifik yang menguasai banyak disiplin ilmu.

Apa yang dialami Ibnu Hazm An-Andalusy sebelas-dua belas dengan jalan yang ditempuh Zakaria Al-Anshari. Ulama moncer dari Mazhab Syafi'i ini juga memulai belajar pada usia 26 tahun. Meski telat, ketekunan berhasil menghantarkannya pada altar ilmu sekaligus menjadi ulama papan atas bergelar Syaikhul Islam. Kesungguhan dan ketekunan menjadi dua kata kunci yang mengantarkan mereka menjadi ulama-ulama yang kompeten dan mumpuni di pelbagai disiplin keilmuan.

Kategori telat belajar yang menimpa Ibnu Hazm dan Zakaria Al-Anshari tergolong masih sedang. Jika mengikuti pola pembagian klasifikasi usia manusia yang dibuat dalam Zaadul Maad, maka keduanya masih termasuk dalam usia muda atau usia produktif.

Beda kasus dengan yang terjadi pada Ali bin Hamzah Al-Kisai. Ulama yang terkesan sebagai linguis sekaligus pakar susastra dari Mazhab Kufah ini baru belajar ketika usianya masuk kepala empat. Jika Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul pada usia empat puluh, maka Al-Kisai baru memulai belajar perkara perkara dasar agama di usia itu. Mirip-mirip dengan yang dilakoni oleh Al-Kisai, Sulaim bin Ayyub Ar Razi juga memulai belajar di usia empat puluh.



Mulai Belajar di Usia 70

Semukabalah dengan jalan yang ditempuh oleh Al-Kisa’i adalah ulama fikih brilian dari Mazhab Syafi’i bernama Al-Qaffal Al-Marwazi. Lelaki yang berprofesi sebagai tukang duplikat kunci ini sampai usia empat puluh tahun hidup dalam kegelapan. Ia tidak mengerti agama sama sekali. Ia hanya sekadar menjalani hidup dan memenuhi kebutuhan. Kerja lembur sering ia lakoni dan banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Belajar di usia yang tergolong sudah matang membuatnya kesulitan. Daya ingat yang sudah mulai menurun diceritakan sempat menjadi penghalang utama yang merontokkan semangat Al-Qaffal.

Namun kegigihan dan ketekunannya serta motivasi dari guru-gurunya berhasil memompa ban kempis semangatnya. Ia menjadi pribadi yang haus ilmu. Ia belajar dari pagi sampai larut. Ketekunannya itulah yang mengantarkannya menjadi pribadi yang cemerlang dan disegani di bidang ilmu fikih kalangan Mazhab Syafi’i. Ia meninggal di usia delapan puluh tahun.

Banyak ulama yang mengatakan bahwa Al-Qaffal adalah contoh terbaik bagaimana Tuhan memberikan skenario pencerahan kepada hambanya. Separuh hidupnya ada di dalam kegelapan dan kejahilan, sementara separuh yang lain berhasil dijalaninya dalam gemerlap cahaya yang cemerlang.

Namun, urusan senioritas ketelatan dan mencari ilmu belum ada yang menandingi Sholeh bin Kaisan. Seperti dikisahkan dalam kitab Tadzhibud Tadzhib, lelaki alim ini baru memulai belajar dan mencari ilmu di usia yang jauh meninggalkan batas usia pensiun pegawai. Ia belajar agama pada saat usianya tepat masuk kepala tujuh. Meskipun sangat telat, banyak riwayat menyatakan ketangguhan ingatan Sholeh bin Kaisan dalam menghafal hadis sehingga kerap mengalahkan pewari-perawi lain yang usianya lebih mudah.

Ulama-ulama yang memiliki ketekunan luar biasa hidup tidak berdasarkan angka hitungan usia. Umur diperlakukan sebagai deretan angka semata. Semangat, integritas, dan kesungguhan dalam belajar adalah kunci utama mengapa mereka bisa move on dari kehidupan yang penuh kejahilan ke arah cahaya ilmu pengetahuan. Inilah jalan pencerahan yang dalam bahasa Quraish Shihab disebut dengan At-Tariq Al-Ishraqy atau pencerahan batin.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar